Senin, 25 Agustus 2014

Di Iran Tidak Ada Shalat Jumat .Benarkah ?



Bsimillah. Allahumma shalli `ala Muhammadin sayidil mursalin wa aalihit thahirin.

Salah satu  Isue yang disebarluaskan kaum  wahabi-takfiri adalah bahwa orang-orang Syiah terbebas dari kewajiban Jum`atan. Bahkan ada seorang wahabi-takfiri  di Grup Face Book  Info Salafi yang ikut menyebarluaskan kebohongan ini. Salah satu web propaganda anti syiah yang ikut menyebarluaskan isue ini diantaranya  http://aslibumiayu.wordpress.com/2012/01/07/belum-ada-kewajiban-shalat-jumat-di-iran-keanehan-di-negara-syiah-aneh-tapi-nyata/  . Web tersebut  mengutip cerita Pak Dahlan Iskan selama di Iran, dan penulis membuat kesimpulan bahwa di Iran shalat jumat belum di wajibkan.

 Pada tulisan kali ini kami akan ajak pembaca untuk menyimpulkan sendiri  apakah benar  di Iran tidak ada shalat Jumat sebagaimana isue yang mereka hembuskan, ataukah itu semua adalah kebohongan yang mereka sebarkan untuk memecah belah NKRI ? 

Berikut saya akan mengutip pernyataan Pak Dahlan Iskan dari  http://edukasi.kompasiana.com/2012/09/12/sedang-berada-di-negara-islam-tapi-pak-dahlan-iskan-tidak-bisa-jumatan-492793.html. Silakan perhatikan poin demi poinnya :
“Kami mendarat di bandara internasional Imam Khomeini Teheran menjelang waktu shalat Jumat. Maka saya pun ingin segera ke masjid: sembahyang Jumat. Saya tahu tidak ada kampung di sekitar bandara ini. Dari atas terlihat bandara ini seperti benda jatuh di tengah gurun tandus yang maha luas. Tapi setidaknya pasti ada masjid di bandara itu.

Memang ada masjid di bandara itu tapi tidak dipakai sembahyang Jumat. Saya pun minta diantarkan ke desa atau kota kecil terdekat. Ternyata saya kecele. Di Iran tidak banyak tempat yang menyelenggarakan sembahyang Jumat. Bahkan di kota sebesar Teheran, ibukota negara dengan penduduk 16 juta orang itu, hanya ada satu tempat sembahyang Jumat. Itu pun bukan di masjid tapi di universitas Teheran. Dari bandara memerlukan waktu perjalanan 1 jam. Atau bisa juga ke kota suci Qum. Tapi jaraknya lebih jauh lagi. Di Negara Islam Iran, Jumatan hanya diselenggarakan di satu tempat saja di setiap kota besar.
“Jadi, tidak ada tempat Jumatan di bandara ini?,” tanya saya.
“Tidak ada. Kalau kita kita mau Jumatan harus ke Teheran (40 km)  atau ke Qum (70 km). Sampai di sana waktunya sudah lewat,” katanya.

Jadi, BUKANNYA TIDAK ADA SHALAT JUM`AT DI NEGARA IRAN. PERNYATAAN TIDAK ADA SHALAT JUMAT DI NEGARA IRAN ADALAH PERNYATAAN PARA PENGHASUD WAHABI-TAKFIRI YANG PENUH KEBOHONGAN . PERHATIKAN BAIK-BAIK PERNYATAAN PAK DAHLAN ISKAN : Di Negara Islam Iran, Jumatan hanya diselenggarakan di satu tempat saja di setiap kota besar. JADI, DI IRAN HANYA ADA SATU TEMPAT DI SETIAP KOTA YANG MENYELENGGARAKAN JUM`ATAN. Bukankah ini menunjukan bahwa di Iran penyelenggaraan shalat jumat itu terpusat ?

Lalu, bagaimana para propaganda wahabi-salafi bisa menyimpulkan dari pernyataan tersebut bahwa di Iran shalat jumat belum diwajibkan ? Pernyataan Pak dahlan Iskan "Di Negara Islam Iran, Jumatan hanya diselenggarakan di satu tempat saja di setiap kota besar " sama sekali tidak menyiratkan tidak diwajibkannya salat jumat di Iran.  Pernyataan tersebut justeru menunjukan adanya  ibadah shalat Jumat di Iran yang tertib dan terpusat, sehingga dalam satu kota hanya ada satu tempat saja yang menyelenggarakanya.

 
Tentunya para pembaca bertanya-tanya , mengapa ibadah Jumat mesti dipusatkan di satu tempat saja di setiap kotanya  ? Mengapa masjid-masjid kecil tidak menyelenggarakan jumatan?  Dan mengapa kaum wanita Iran juga ikut melaksanakan Jumatan ? Untuk menjawab pertanyaan ini kita mesti memahami fiqih syiah ahlulbait. Tentunya bila ada orang syiah Iran yang tidak memahami fiqih popular masyaraklat muslim Indonesia juga mereka akan kebingungan dan bertanya ; MENGAPA DI INDONESIA KAUM WANITANYA TIDAK MELAKSANAKAN JUMATAN? MENGAPA TIDAK ADA BATASAN JARAK DALAM MENYELENGGARAKAN JUMATAN  SEHINGGA MESJID-MESJID YANG BERDEKATAN MENYELENGGARAKAN JUMATAN ?  MENGAPA PENYELENGGARAAN JUMATAN TIDAK TERATUR DI IN DONESIA ?  PADAHAL BUKANKAH  MAYORITAS MASYARAKAT INDONESIA ADALAH PENGIKUT SUNI SYAFII, LALU MENGAPA MASJID KECIL MENYELENGGARAKAN IBADAH JUMATAN, PADAHAL MAKMUMNYA CUMA 20 ORANG LEBIH, BUKANKAH JUMATANNYA TIDAK SAH ?

Pertanyaan tersebut bukannya mengada-ada, pertanyaan demi pertanyaan tersebut emmang pernah  terlontar dari Mr.Hamid , seorang warga Iran yang ada sempat tinggal  di Indonesia. Sebelum ke Indonesia, beliau sempat mempelajari fiqih syafii yang  dianut oleh mayoritas muslimin di Indonesia. Dan betapa kagetnya Mr. Hamid, ternyata fiqih suni syafii tidak diterapkan di masjid-masjid Indonesia.

Langsung saya jelaskan bahwa aturan-aturan dalam fiqih suni-syafiii kurang begitu disosialisasikan di kota-kota besar, karena para pengurus masjid suni-syafii sendiri pun banyak yang kurang memahami fiqih syafii, alias banyak yang tidak mesantren. Disamping itu , masjid-masjid di kota besar , banyak yang dipengaruhi faham-faham wahabi-dan faham-faham pembaharuan Islam lainnya, sehingga masjid-masjid suni-syafiii tersisihkan. “ Tapi kalau Mr.hamid datang ke daerah-daerah luar perkotaan seperti Banjar Ciamis, pelaksanaan Jumatan lebih tertib dari di perkotaan. Hanya masjid-masjid Jami` saja yang menyelenggarakan jumatan. Mesjid-mesjid suni-syafiii yang kecil, langgar dan mushola , tutup pada saat diselengarakan Jumatan” terang saya.   

Rukun dan Syarat   Jum`atan Menurut Fiqh Mazhab Suni Syafii      

Seperti halnya dalam fiqih Syiah Ahlulbat, dalam  fiqh suni Syafii pun ada aturan-aturan yang  tertib dalam penyelengaraan Ibadah Shalat Jumat. Dalam bahasa Pesantrennya, ada rukun dan syarat dalam Ibadah jum`at. Tidak sembarangan, karena bila tidak memenuhi rukun dan syarat tersebut maka shalat Jumat dianggap menjadi tidak sah, dan mesti digantikan dengan ibadah Shalat Dzuhur. Setidaknya begitu pelajaran yang saya dapat ketika saya masih mesantren di Pesantren Salafiah Alfalah Cicalengka Bandung.

Dalam Masalah Bilangan atau jumlah misalnya, Mazhab Suni Syafii memberi batasan yaitu mesti minimal 40 orang atau lebih. Artinya bila jamaah kurang dari 40 orang , maka ibadah shalat Jumatnya dianggap tidak sah dan mesti digantikan dengan Shalat Dhuhur. 


Adapun dalil-dalil penetapan ahli Jum’at, sekurang-kurangnya empat puluh orang, antara lain hadits riwayat Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik dari bapaknya Ka’ab bin Malik,
أنه كان إذا سمع النداء يوم الجمعة ترحم على أسعد بن زرارة فقلت له إذا سمعت النداء ترحمت لأسعد قال لأنه أول من جمّع بنا في هزم النَبيتِ من حَرّة بني بَياضةَ في نَقيع يقال له نقيع الخَضِمات قلت له كم كنتم يومئذ قال أربعون
Artinya : Sesungguhnya Ka’ab bin Malik apabila mendengar azan pada hari Jum’at, mendo’akan rahmat untuk As’ad bin Zararah. Karena itu, aku bertanya kepadanya : “Apabila mendengar azan, mengapa engkau mendo’akan rahmat untuk As’ad ? Ka’ab bin Zararah menjawab : “As’ad adalah orang pertama yang mengumpulkan kami shalat Jum’at di sebuah perkebunan di Desa Hurah Bani Bayadhah pada sebuah lembah yang disebut dengan Naqi’ al-Khashimaat. Aku bertanya padanya : “Kalian berapa orang pada saat itu ?” Beliau menjawab : “Empat puluh orang.” (H.R. Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim. Berkata Baihaqi : hadits hasan dengan isnad sahihIbnu Mulaqqan, Tuhfah al-Muhtaj ila adallah al-Minhaj, Juz. I, Hal. 494. Lihat juga Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Dar al-Baz, Makkah, Juz. III, Hal. 177, No. Hadits : 5396 ).

Disamping itu, ke 40 orang tersebut mestilah laki-laki yang yang mencapai usia baligh, sehat fikirannya, dan muqimin atau penduduk setempat yang bukan pendatang.( silakan periksa fiqih Suni Syafii di http://kitab-kuneng.blogspot.com/2012/03/tata-laksana-shalat-jumat.html atau http://madadunnabawiy.blogspot.com/2009/08/fiqh-imam-syafii-7.html ). Jadi, bila dalam suatu masjid jumlah jamaahnya kurang dari 40 orang, maka ibadah Jumatnya dianggap tidak sah dalam mazhab Syafii. Demikian pula seandainya jumlahnya mencapai 40 tetapi bila didalam bilangan 40 tadi  ada seorang trans seksual atau dalam bahasa sekarang disebut alay, juga ada bebrapa remaja tanggung yang belum aqil baligh, dan ada lebih dari 5 orang yang bukan muqimin (bukan penduduk setempat) , maka lagi-lagi akan dianggap belum memenuhi syarat, dan tidak sah shalat jumatnya menurut mazhab Suni Syafii. Disamping itu ada pula syarat lainnya yaitu seorang khatib shalat Jumat mesti sesuai persyaratan diantaranya memahami hokum-hukum aturan penyelengaraan shalat Jumat, hal ini berbeda dengan praktek yang terjadi di kota-kota. Seorang khatib bisa siapa saja termasuk cendikiawan ,tanpa kita mengetahui ia sudah memahami hokum-hukum fiqih Jumatan atau tidak.

 Itulah sebabnya para ulama Syafiiyah di daerah-daerah terpencil mengadakan aturan untuk ketertiban Jumatan, yaitu dengan memusatkan penyelengaraan Jumatan hanya di masjid Jami`. Dari sisi ini, ada kesamaan dengan masyarakat Iran yang menyelenggarakan Jumatan hanya Satu tempat di satu kota. Perhatikan cerita  Pak Dahlan Iskan di atas  ,’ Di Negara Islam Iran, Jumatan hanya diselenggarakan di satu tempat saja di setiap kota besar.“Jadi, tidak ada tempat Jumatan di bandara ini?,” tanya saya.“Tidak ada. Kalau kita kita mau Jumatan harus ke Teheran (40 km)  atau ke Qum (70 km). Sampai di sana waktunya sudah lewat,” katanya.

Tidak hanya itu, dalam Mazhab Syafii pun ada aturan bahwa jarak dari mesjid satu ke mesjid lainnya  yang menyelenggarakan Jumatan itu adalah 40 farsakh, atau sekitar 20 an km. Dan bila di sebuah negeri ada masjid-mesjid yang beredekatan yanag masing-masing menyelenggarakan shalat Jumat, maka mesjid yang lebih dahulu adzan dan iqomahl;ah yang sah, sementara di masjid lainnya dianggap tidak sah dan makmum mesti menggantikannya dengan shalat dhuhur. Itulah aturan penyelengaraan shalat Jumat dalam Mazhab Suni-syafii.

Saya tidak akan menghakimi bahwa praktek penyelenggaraan shalat Jumat di kota-kota di Indonesia terbilang tidak tertib , tidak teratur atau tidak terpusat. Tetapi silakan saudara pembaca nilai sendiri berdasarkan fiqih Mazhab Suni-syafii . Masjid-masjid yang saling berdekataan berlomba-lomba menyelenggarakan shalat Jumat walaupun jarak  antar masjid tersebut kurang dari persyaratan. Sementara itu dari segi jumlah, ada beberapa masjid kecil yang memaksakan diri menyelenggarakan jumatan. Ada yang masjid yang jumlah jamaahnya hanya 20 orang lebih, ada juga yang mencapai empat puluh orang tetapi 90%nya adalah bukan penduduk  setempat . Entah  karena malas atau karena alasan tertentu yang dibuat-buat, mereka tidak mau memusatkan  ibadah Jumatnya di Masjid Jami,  padahal  seharusnya jika kita menjalankan fikih mazhab suni syafii secara konsekwen, maka hanya ada satu Masjid Jami yang mennyelenggarakan Salat Jumat untuk tiap 20 kilometer. Bila penyelenggaraan shalat Jumat terpusatkan sesuai dengan aturan dalam mazhab suni syafii, bukankah ini mirip dengan Iran, di satu kota hanya ada satu tempat yang menyelenggarakan ibadah Salat Jumat

Shalat Jumat dalam Mazhab Syiah Ahlul Bait

Dalam Buku Shalat Dalam mazhab Ahlul Bait yang disusun Hidayah Husein Alhabsyi, yang merupakan panduan fiqih praktis populer dipakai Muslim penganut Mazhab Syiah AhlulBait Indonesia, pada Bab Shalat Jumat halaman 179 disebutkan bahwa shalat jumat hukumnya adalah wajib Ikhtiyari. Sekali lagi saya tekankan, shalat jumat itu hukumnya wajib ikhtiyari. Artinya ibadah Jumat itu hukumnya wajib , akan tetapi bila belum terpenuhi persyaratan dalam penyelenggaraan Jumat di suatu tempat, maka seorang pengikut mazhab ahlulbait bisa memilih antara shalat Dhuhur atau tetap melaksanakan Shalat jumat di tempat yang belum memenuhi syarat tersebut (mesjid-mesjid yang berdekatan ) . Belakang ini sayid Ali Khamenei menganjurkan muslim syiah shalat di masjid-masjid suni dnegan niat untuk menjaga persatuan tanpa perlu mengulang shalat dhuhur walaupun mesjid tersebut bemum memenuhi persyaratan dalam penyelenggaraan Ibadah Jumat.

Mazhab Syiah Ahlul Bait menekankan pentingnya keberadaan seorang pemimpin untuk mengatur penyelenggaraan ibadah shalat jumat ini dengan tertib dan terpusat sesuai persyaratan fiqih. Itulah sebabnya  Negara Iran yang mayoritas penduduknya penganut Muslim Syiah Ahlulbait, begitu memperhatikan penyelenggaraan ibadah yang satu ini sehinggan terpusat, tertib dan teratur. Di setiap kota, Ibadah jumat dipimpin oleh seorang khatib dan Imam yang sudah dipilih dan kredibel, hanya seorang Ayatullah yang telah menempuh pendidikan keagamaan selama puluhan tahunlah yang menjadi khatib. Tidak sembarang orang.  Di hari Jumat, masyarakat muslim Iran berbondong-bondong memadati tempat diselenggarakannya ibadah Salat Jumat. Hal ini adalah sebagai mana firman Allah dalam Al quran     :
                   Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(Q.S. al-Jum’at : 9)

Pelaksanaan Ibadah Shalat Jumat di Iran , silakan klik http://islamtimes.org/vdcftydytw6dmca.,8iw.html
Karena mengetahui pentingnya shalat Jumat, bahkan wanita pun ikut shalat Jumat di iran, Ibadah ini mirip dengan shalat Idul Fitri di Indonesia. Jutaan orang tumplek ke jalan-jalan. Bukankah ini menunjukan betapa fahamnya masyarakat SYiah Iran tentang wajibnya ibadah ini ? 

Minggu, 13 Juli 2014

ORANG SYIAH MENUNDA-NUNDA BUKA PUASA , BENARKAH ?

Ki Akbar / Abu Shadra


Suatu hari, isteri saya menunjukan status salah seorang temannya yang orang wahabi-salafi takfiri di face booknya. Dalam status tersebut, si wahabi menulis  bahwa salah satu cirri orang syiah diantaranya di saat masuk waktu berbuka, mereka selalu menunda-nunda berbuka, hingga malam hari. Menurutnya, hal tersebut ( menunda berbuka puasa) adalah salah satu bid`ah yang diada-adakan kaum syiah. Dari status tersebut, si wahabi-salafi takfiri ini ingin membuat kesan bahwa kaum muslim syiah itu adalah ahli bid`ah yang gemar mengada-adakan sesuatu .

Pembaca  yang budiman tentunya tidak menerima begitu saja issue-issue yang dilontarkan mereka kaum wahabi-salafi takfiri sebelum bertabayun dengan kaum syiah terlebih dahulu untuk mengetahui duduk persoalannya. Tabayun ini adalah salah satu perintah Allah dalam Alqur`an yang seringkali dilupakan oleh para korban propaganda salafi-wahabi takfiri.Padahal Allah jelas-jelas memerintahkan untuk bertabayun saat menerima suatu berita yang datang .

Firman Allah dalam Alqur`an.    

  يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٍ۬ فَتَبَيَّنُوٓاْ
أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَـٰلَةٍ۬ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَـٰدِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurot[49]:6)

Jadi, bertabayyunlah wahai para pembaca yang berhati bersih dan fikiran terbuka. Saat mendengar dai kaum pengikut agama Salafi-takfiri berita bahwa orang syiah menunda-nunda waktu berbuka hingga malam gelap dan bintang-bintang bermunculan, maka anda mesti mencari tahu dari sumber syiah secara langsung, benarkah demikian ? Kapankah waktu berbuka muslim syiah yang sebenarnya ? benarkah orang-orang syiah membuat-buat hal baru seperti yang dituduhkan kaum salafi ataukah mereka memiliki landasan dalil yang qot`i ? Benarkah semua tuduhan tersebut ataukah hanay kebohongan yang dibuat-buat kaum pendengki untuk memecah belah Islam dan kaum muslimin?

Waktu berbuka menurut Alqur`an  

“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” surah Al-Baqarah ayat 187
Dari ayat ini jelas, bahkan secara tegas menetapkan perintah bahwa puasa harus disempurnakan sampai datang malam (ila-lail), artinya waktu berbuka puasa adalah setelah masuknya malam, bukan menjelang malam, seperti waktu dikumandangkannya adzan.

Selanjutnya apa yang dimaksud Al-Qur’an dengan lail (malam) menurut Alqur`an ?  apakah adzan maghrib yang dikumandangkan saat matahari sementara dalam proses terbenamnya termasuk dalam bagian malam? Apakah masih terlihatnya redup rona kemerahan di ufuk barat termasuk tanda telah datangnya malam?.
Semua mufassir sepakat, sebaik-baik penafsir ayat Al-Qur’an adalah ayat Al-Qur’an sendiri, setelah itu barulah  qaul Nabi saww. Bila ayat lain dalam alqur`an sudah menjelaskan dengan gamblang tenatang cirri-ciri malam, maka penjelasan tersebut sudah tidak terbantahkan.selanjutnya,mari kita buka ayat lain yang berbicara tentang malam

Dalam surah Yaasin ayat 37 Allah SWT berfirman, “Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan.”

Di ayat pertama surah Al-Lail, “Demi malam apabila menutupi (cahaya siang).” Kita juga bisa lihat pada surah al-Falaq ayat 3, “…dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita.”

Dari ayat-ayat tersebut yang bercerita tentang malam kita bisa menyimpulkan, malam adalah datangnya kegelapan. Ketika siang dengan cahayanya yang benderang telah tertutupi dan tergantikan dengan kegelapan, maka saat itulah disebut dengan malam. Begitu Al-Qur’an menyebutkan. Dan sebagaimana dalam surah Al-Baqarah ayat 187 yang telah saya sebutkan, “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” menunjukkan waktu berbuka atau waktu untuk mengakhiri puasa menurut Al-Qur’an adalah ketika datang malam, ketika langit diselubungi kegelapan, bukan sebagaimana yang dipraktikkan kaum muslimin kebanyakan saat ini, khususnya di Indonesia, yakni menjelang malam, bukan datangnya malam. Biasanya berkisar 15-20 menit setelah adzan maghrib.  

Lebih detail lagi, tanda lain dari datangnya malam selain gelapnya langit adalah tampaknya (bermunculannya) bintang-bintang. Allah SWT berfirman, “Demi langit dan yang datang pada malam hari, tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?, (yaitu) bintang yang cahayanya menembus.” (Qs. At Thaariq [86] : 1- 3).

Jadi tanda-tanda  malam menurut Al quran adalah sebagian langit telah diliputi kegelapan dan munculnya satu bintang di langit (kita menyebutnya bintang kejora) .Di saat inilah kami muslimin syiah berbuka puasa .
Ketika mendekati waktu  berbuka, muslim syiah selalu memperhatikan ke arah langit apabila telah mulai gelap dan tampak minimal satu bintang , barulah muslimin syiah meyakininya sebagai waktu berbuka. Ketika memang sudah masuk waktunya, barulah mereka menyegerakan  berbuka tanpa menunda-nunda, karena disitu terdapat kebaikan

Berbeda dengan umum nya saudaranya kaum muslimin ahlusunnah yang berbuka di saat langit masih terang dan belum muncul satu bintangpun di langit, kaum muslimin syiah lebih berpegang kepada apa yang telah digariskan oleh nash , dalam hal ini ALqur`an daripada kebiasaan masyarakat.Lalu, apakah ini merupakan kesalahan ?

Antara waktu berbuka muslim syiah yang dituduhkan salafi-takfiri , dan waktu berbuka muslim syiah yang sebenarnya

Seperti yang kita bahas sebelumnya, bahwa waktu berbuka puasa menurut Alquran adalah waktu LAIL seperti yang dijelaskan ayat berikut : Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” [Al-Baqarah : 187] . Selanjutnya salah satu tanda masuknya waktu LAIL atau malam  adalah saat munculnya satu bintang di langit sebagaimana yang dijelaskan ayat berikut : “Demi langit dan yang datang pada malam hari, tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?, (yaitu) bintang yang cahayanya menembus.” (Qs. At Thaariq [86] : 1- 3).Itulah tanda malam yang diyakini muslimin syiah sebagai tanda masuk waktu berbuka, dan saat itu mereka menyegerakannya berbuka puasa.

Sementara issue-issue yang disebarkan kaum salafi-wahabi takfiri adalah bahwa kaum syiah mengada-adakan syariat dengan menunda-nunda puasanya hingga bintang-bintang bermunculan. Setelah mendapatkan penjelasan dari saya tentang waktu berbuka menurut madzhab syiah ahlulbait dan dalil nash yang dijadikan landasan para marja ( mujtahid) syiah dalam menentukan waktu berbuka puasanya, maka saudara pembaca dapat menyimpulkan sendiri, apakah kami yang mengada-adakan  syariat baru yang mereka pandang sebqagai bid`ah , ataukah justeru mereka yang mengada-adakan cerita bohong dan berlebih-lebihan ?

Tentang hadist “Segerakan berbuka “

“Segerakan berbuka , karena disitu ada kebaikan“ inilah salah satu hadist yang dijadikan senjata kaum salafi-wahabi takfiri untuk mendiskreditkan muslim syiah sebagai ahli bid`ah, bahwa seolah muslim syiah telah melakukan sebuah dosa besar dengan mengada-adakan syariat baru yaitu menunda-nunda waktu berbuka.
Padahal secara tekstual sebagiaman yang pembaca sendiri memahaminya, bahwa seandainya hadist tersebut benar-benar shahih sekalipun, hadist tersebut hanya berbicara tentang keutamaan menyegerakan berbuka. Bukan berbicara tentang kewajiban untuk menyegerakan berbuka. Artinya sebagaimana  yang dapat saudara fahami difahami dari hadist tersebut, bahwa menyegerakan berbuka ini adalah sunnah. Hadist tersebut hanya berbicara tentang kebaikan yang diperoleh bila kita menyegerakan berbuka, sama sekali tidak berbicara tentang adanya larangan, apalagi ancaman dan hukuman bagi seseorang yang menunda berbuka. Sehingga bila ada suatu kaum “yang dianggap” menunda waktu berbuka tidak bisa kita mencapnya sebagai pendosa , sesat dan kafir .

Hadist “ segerakan berbuka” inipun tidak berbicara tentang waktu. Artinya kita bisa memahami bahwa menyegerakan berbuka ini konteksnya tentang bersegera berbuka puasa ketika waktunya telah masuk. Jadi, terjemah bebas dari hadist tersebut adalah : , BILA WAKTU BERBUKA TELAH MASUK, MAKA SEBAIKNYA JANGAN DITUNDA-TUNDA, SEGERAKANLAH AGAR ENGKAU MENDAPAT KEBAIKAN. Sangat tidak logis bila hadist ini dimaknai semena-mena sehingga seorang bisa berbuka sebelum waktunya dengan berdalih hadist  tersebut. Seoang muslim ahlusunnah pun tentunya tida setuju bila hadist tersebut dimaknai bahwa menyegerakan berbuka diartikan  berbuka diwaktu dzhuhur misalnya.
Sementara itu pada kenyataanya, hadist ini barangkali dimaknai mayoritas muslimin di Indoensia sebagai mempercepat waktu berbuka.Ketika adzan belum selesai , bahkan ketika lafadz Allahu Akbar baru dimulai, sebagian berlomba-lomba orang-oang membtalkan puasanya. Bahkan ada juga yang ketika baru mendengar suara bedug , adzan pun sama sekali belum berkumandang, ada sebagian yang sudah berbuka dengan dalih hadist” segerakan berbuka”.

 Padahal tidak seperti itu yang saya fahami, bahkan ketika saya masih suni dulu. Dalam sahih Muslim yang menjadi rujukan saya dahulu ketika masih suni diriwayatkan bahwa Abu Athiyah datang menemui Aisyah dan menanyakan tentang adanya sahabat yang mendahulukan berbuka kemudian shalat, sementara sahabat lainnya mendahulukan shalat baru kemudian berbuka.Aisyah kemudian bertanya siapa sahabat yang menyegerakan berbuka kemudian shalat. Setelah mendengar jawaban Athiyah bahwa sahabat yang dimaksud adalah Abdullah bin Mas`ud, barulan Aisyah menjelaskan bahwa Meyegerakan itulah yang dilakukan Rasulullah..( Sahih Muslim  Kitab Shaum , hadist nomor 1063 Jilid I Penerbit Widjaya Jakarta)  .Jadi, bila kita merujuk ke  hadist di atas, anjuran menyegerakan berbuka artinya adalah kita dianjurkan mendahulukan buka puasa sebelum melakuka amalan-amalan lainnya bila waktu berbuka sudah masuk.

Masalah Perbedaan waktu berbuka

Kita tidak pernah mendengar ada oang syiah yang berbuka puasa diwaktu isya, atau jam 12 malam mislalnya. Artinya, mereka pun berbuka puasa pada waktunya yang telah ditentukan oleh fiqih mereka. Permasalahannya adalah waktu berbuka kaum muslim syiah berbeda dengan waktu berbuka yang diyakini muslim ahlusunnah umumnya. Adapun masalah perbedaan waktu berbuka seperti halnya masalah perbedaan waktu Iedul fitri misalnya, adalah masalah furu`iyyah, cabang agama.  

Seperti yang kita bahas sebelumnya, bahwa waktu berbuka puasanya muslimin syiah adalah didasarkan pada nash Alqur`an yang menegaskan bahwa waktu berbuka adalah LAIL atau malam hari. seperti yang dijelaskan ayat berikut : Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” [Al-Baqarah : 187] . Selanjutnya salah satu tanda masuknya waktu LAIL atau malam  adalah saat munculnya satu bintang di langit sebagaimana yang dijelaskan ayat berikut : “Demi langit dan yang datang pada malam hari, tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?, (yaitu) bintang yang cahayanya menembus.” (Qs. At Thaariq [86] : 1- 3).Itulah tanda malam yang diyakini muslimin syiah sebagai tanda masuk waktu berbuka, dan saat imereka telah melihat tanda malam sebagai acuan masuknya waktu berbuka yaitu telah melihat 1 bintang dilangit, atau tanda-tanda lainnya yang dijelaskan dalam hadist-hadist rujukan para marja (mujatahid ) syiah, maka mereka menyegerakannya berbuka puasa tanpa mendahulukan amalan lainnya.

Hadist Suni  membantah fitnahan propagandais wahabi-salafi

Kembali ke tuduhan si wahabi-salafi tadi, bahwa orang syiah buka puasanya ketika langit telah malam yaitu ketika bintang-bintang telah bermunculan, seperti ritual buka puasanya orang Yahudi . Tuduhan ini adalah tuduhan yang mengada-ada, alias ngarang-ngarang > kedua pernyataanya tidak konsisten .

Dari pernyataan si wahabi ini, ada 2 point : 1. Orang syiah buka puasanya ketika malam benar-benar gelap yaitu ketika bintang-bintang bermunculan  2. Sama seperti ritual puasanya  kaum yahudi .

Saya akan jawab tuduhan ini :
1.Bahwa kami berbuka puasa tidak ketika seluruh bintang bermunculan, tapi ketika masuk tanda-tanda malam, yaitu  minimal 1 bintang muncul di langit, atau ketika bagian timur mulai gelap (walaupun Barat masih terang) , yaitu sekitar 15 menit dari buka puasanya muslim ahlusunnah
2. Bahwa ritual buka puasanya yahudi ketika bintang-bintang bermunculan, ini adalah hal yang ngarang-ngarang. Bahkan kitab hadist rujukan mereka pun (Sahih Muslim ) menjelaskan bahwa waktu buka puasanya ahlulkitab sama dengan waktu berbukanya kaum muslimin, yang membedakan keduanya adalah waktu makan sahur . Silakan periksa Sahih Muslim Kitab Shaum . Dari Amr bin Ash katanya Rasulullah bersabda : Perbedaan shaum kita dengan shaum ahlikitab adalah sahur. .
( hadist no 1060 Sahih Muslim , pentashih Syeikh Abd Syukur Rahimi, Penerbit Widjaya Jakarta)

 Kesimpulannya, tuduhan di atas adalah mengada-ada, alias ngarang-ngarang, karena wahabi-salafi emmang jagonya mengarang indah. Saudara pembaca sependapat dengan kesimpulan saya ?



Kamis, 19 Juni 2014

ORANG SYIAH MENGKULTUSKAN ALI, BENARKAH ? MENJAWAB TUDUHAN KAUM SALAFI III



Ali adalah Wajah Allah

Dalam berbagai situs-situs mereka, kaum salafi-takfiri menyebarkan issue bahwa orang syiah telah terjerumus dalam penyimpangan, karena meyakini bahwa Ali adalah wajah Allah.  Dengan trik ini, mereka hendak mengarahkan pembacanya mempercayai propaganda bahwa orang syiah meyakini Ali adalah bagian dari tubuh tuhan mereka .Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan.Pada pembahasan ini, saya akan mengajak saudara pembaca untuk berfikir dan menjadi hakim dengan akal fkiran saudara pembaca untuk kemudian menyimpulkan, apakah kami atau mereka  yang menyimpang dari Aqidah yang lurus.

Kaum wahabi memahami bahwa Allah memiliki tangan sebagaimana halnya manusia., Allah duduk di Arasy sebagaimana manusia yang duduk di kusi, dan mereka pun meyakini bahwa Allah memiliki wajah sebagaiamana manusia memiliki wajah. Aqidah ini dikenal dengan aqidah tajsim atau jisimiyah sebagaimana kaum Yahudi meyakini Tuhan mereka, yaitu meyakini bahwa Dzat Ilahi itu seperti makhluq, terdiri dari bagian-bagian seperti tangan , kaki, kepala. Maha suci Tuhan dari apa yang mereka sifatkan.Selanjutnya, dengan keyakinan sesat tersebut, mereka menuduh orang syiah meyakini " ALi wajah Allah" dalam sudut pandang mereka yang sempit dan salah.KAMI TIDAK PERNAH MEYAKINI BAHWA ALI ADALAH WAJAH ALLAH DALAM KONTEKS ALI ADALAH BAGIAN DARI TUBUH TUHAN ATAU BAGIAN DARI DZAT TUHAN, ITU ADALAH PEMAHAMAN YANG SESAT DAN KELIRU YANG HANYA ADA DALAM KERANGKA BERFIKIRNYA KAUM SALAFI TAKFIRI.

Mereka kaum salafi-wahabi –takfiri meyakini bahwa istilah-istilah Alquran seperti “ tangan Allah “, “kaki Allah” , “ wajah Allah” , tidak boleh ditakwilkan. Maka menurut mereka , kafirlah orang-orang yang mentakwilkan “ tangan Allah” adalah kekuasaan, “ wajah Allah” adalah keindahan perwujudan alam semesta sebagai manifestasi ilmu dan kuasaNya Ilahi. Bagi mereka, tangan Allah adalah betul-betul tangannya Allah, dan “wajah Allah” adalah betul-betul adalah wajahnya Allah. Mereka menganggap sesat para ulama yang berani mentakwilkan istilah-istilah tersebut, akan tetapi tanpa sadar mereka pun telah “berani” mentakwilkan istilah-istilah tersebut dengan penakwilan secara tekstual harfiah, dengan keterbatasan pemahaman mereka  bahwa tuhan itu benar-benar berwujud fisik. Bila mereka kaum salafi mengharamkan penakwilan, mengapa mereka pun menakwilkan istilah-istilah  tersebut secara tekstual? 

Para Mufasir syiah  ternyata tidak sependapat dengan penakwilan “Wajah Allah”  sebagaimana yang difahami kaum pengikut agama Salafi, yakni wajah difahami benar-benar wajah, yaitu bagian dari “ kepala “Nya Allah (subhanallahi amma yushifun). MEYAKINI BAHWA TUHAN TERDIRI DARI BAGIAN-BAGIAN ADALAH KEYAKINAN YANG DIANGGAP BATHIL OLEH PARA ULAMA SYIAH. Para teolog , mufasir dan ulama syiah senada dalam satu keyakinan bahwa Dzat Azza wajalla yang suci itu adalah tidak terdiri dari bagian-bagian sebagaimana yang diyakini kaum pengikut agama salafi dan agama Yahudi pada umumnya. Maka para mufasir syiah memahami bahwa term “ WAJH ALLAH “ ini adalah suatu istilah majazi yang digunakan Qur`an , PARA ULAMA KAMI  SEKEYAKINAN BAHWA “WAJAH ALLAH” BUKANLAH TERMASUK BAGIAN DARI DZAT ALLAH, bukan bagian dari “tubuh” Tuhan.Maha suci Tuhan dari terbagi-bagi kedalam bagian bagian, maha suci Tuhan dari kesamaan dengan makhluk sebagaimana yang diyakini kaum salafi-takfiri.

Pembahasan tentang “wajah Allah” adalah pembahasan yang sangat rumit dan cukup berat. Beberapa buku ulama syiah yang mencoba memberikan gambaran penafsiran “Wajah Allah” pernah coba saya lalap, tapi rasanya cukup berat saya rasakan untuk memahaminya. Akan tetapi Ust Jalaludin Rahmat , salah seorang tokoh syiah Indonesia dalam salah satu ceramahnya pernah memberikan penjelasan tentang tafsir “Wajah Allah” menurut Allamah Thoba-thobai dengan penjelasan sederhana yang bagi saya cukup mudah dimengerti. Dalam salah satu ceramahnya, Kang Jalal menceritakan tentang salah seorang temannya, orang asing yang tampak begitu terkaget-kaget melihat para pengamen , gelandangan dan anak-anak jalanan setibanya dari bandara . “Kontan Kang Jalal berkomentar singkat ,” Inilah wajah Indonesia tuan !” .Tamu asing tersebut mengangguk-angguk tanda mengerti. 

Pengamen, anak jalanan dan gelandangan adalah “Wajah Indonesia”. Saudara bisa dengan mudah memahami istilah ini, bahwa “wajah Indonedia “ bukan artinya bahwa Indonesia memiliki bagian-bagian tubuh termasuk wajah. Akan tetapi “ wajah Indonesia” di sini artinya bahwa dengan melihat mereka (anak-anak jalanan tersebut) kita dapat menyaksikan gambaran utuh yang didalamnya tergambar  keadaan ekonomi bangsa Indonesia yang timpang. 

Dalam bahasa Arab kata wajah  juga menjadi lambang kehormatan seperti dalam istilah Arab; araq ma’ wajhih yang secara harfiah berarti “menumpahkan air ke wajahnya”, yakni menjual harga dirinya. Dalam konteks al-Qur’an pun disebutkan term wajah, orientasi dan arah mempunyai akar kata yang sama, yakni (w-j-h); wajh (wajah), wijhah (arah), ittijah, jihah (orientasi, arah). Seperti; “mengarahkan wajah”, maksudnya adalah “menempuh” atau “mengikuti” sebuah arah, atau “menundukkan wajahnya kepada Allah” artinya mengikuti ajaran-ajaranNya dengan sepenuh hati, dan melangkah pada arah yang diperintahkanNya. Kata wajh (wajah) atau wajih dalam bahasa Arab juga mengandung arti kepala atau pemimpin suatu komunitas. Ketika para malaikat memberitahu Maryam bahwa Allah memberinya kabar gembira bahwa ia akan mempunyai seorang anak laki-laki; Isa, mereka mengatakan anak itu akan menjadi wajih – yang mnempunya wajah , maksudnya  seorang yang terkemuka di dunia dan di akhirat kelak; salah satu dari orang-orang yang didekatkan pada Allah (QS Alu Imran : 45)

Maka “wajah Allah “ merupakan sesuatu yang bukan Dzat Allah , yang merupakan wujud keagungan Ilmu Ilahi, yang merupakan cermin penggambaran kesempurnaan Keagungan Ilmu Ilahi. Dengan melihat cermin yang kita menyebutnya “Wajah Allah” ini, kita akan menyaksikan keMaha Sempurnaan dan ke Maha Agungan Pencipta.  

Alam Semesta yang teratur, luas  dan indah dalam penafsian sufistiknya Ibnu Arabi merupakan “wajah Allah” , kemanapun kita mengahdap , kita dilingkupi oleh alam semesta yang teratur   , dan luas seolah tanpa arah , Qur`an mengistilahkannya dengan “wajah Allah”  .Al-Qur’an yang membahas masalah wajah Tuhan dalam konteks ini adalah surat al-Baqarah ayat 115 yang bermakna; Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap, disitulah Wajah Allah. Alam semesta yang begitu luas tak terhingga meru`pakan` “ wajah Ilahi” yang dengan menyaksikannya kita dapat melihat ketidak terbatasan Ilmu Ilahi dimana seluruh akal tunduk takjub.`

Maka bila arah yang merupakan ciptaan Allah diis`tilahkan dengan “wajah Allah” , bagitupun halnya dengan PARA NABI, IMAM. DAN PARA WALI, YANG MERUPAKAN SEBAIK-BAIK MAKHLUQ, CIPTAAN TUHAN YANG TERBAIK.MEREKA ADALAH “WAJAH ALLAH” yang dengan menyaksikan mereka kita akan tunduk takjub pada keagungan Ilahi. Yang dengan menyaksikan mereka kita akan teringat dengan Allah dan jalan tauhid. Rasululah Muhammad merupakan “wajah Allah” yang dengan menyaksikan keperibadian beliau saw nya saw kita akan melihat pancaran  sifat-sifat kelembutan Ilahi sebagaimana yang digambarkan Alqur`an :, “Laqad jaa-akum rasulun min anfusikum, ‘azizun alihi maa ‘anittum, harisun ‘alaikum bil mu’minina raufur rahim” (Telah datang seorang rasul kepadamu dari golonganmu sendiri. Terasa amat berat apa yang kamu derita, ia sangat menginginkan kebaikan bagimu. Terhadap mu’min ia santun lagi kasih sayang). Q:s 9:128.Dalam ayat ini , Qur`an menyebutkan kepribadian rasulullah itu Rouf dan rahim. Bukankah Rauf dan rahim ini adalah asma-asma Ilahi ?

Itulah sebabnya kami mayakini bahwa Rasulullah merupakan salah satu “Wajah Ilahi”, yang melalui beliau terpancar Sifat Rauf dan RahimNya Ilahi . Demikian pula Imam Ali, para Nabi, dan Para waliyullah. Melalui keagungan sifat-sifat mereka kita dapat menyakisikan pancaran sifat-sifat lembut dan agung Ilahi. SYIAH TIDAK PERNAH MENYATAKAN WAJAH ALLAH ITU HANYALAH ALI. PERNYATAAN BAHWA ORANG SYIAH MEYAKINI WAJAH ALLAH ITU ADALAH ( DAN HANYALAH) ALI, ADALAH KEBOHONGAN YANG DISEBARKAN MUSUH-MUSUH AHLULBAIT, TETAPI KAMI MEYAKINI BAHWA  SELURUH MANUSIA-MANUSIA AGUNG SEPANJANG SEJARAH YANG ALLAH PUJI, YAITU PARA NABI DAN RASUL, PARA IMAM DAN PARA WALI, MEREKALAH WAJAH ILAHI. YANG MELALUI MEREKALAH KITA DAPAT MENGNGAT KEBESARAN DAN KEAGUNGAN ILAHI.

ULAMA  SYIAH MENGAMBIL HIKMAH DAN SUNNAH MELALUI ALI

Kami mengambil ilmu hikmah Rasulullah dan sunnah beliau saww melalui Ali dan para Imam ahlulbait. Karena kami meyakini bahwa sunnah Ali adalah sunnahnya Rasulullah, begitupun sebaliknya. ARtinya seluruh yang difahami Ali adalah beliau dapatkan dari Rasulullah. Satu-satunya sahabat dan keluarga beliau yang mampu menyerap seluruh pancaran ilmu Nubuwah dari Rasulullah hanyalah Ali, itulah yang kami yakini.  

Kaum ahlusunnah mengambil sunnah Nabi dari para sahabat. Mereka meyakini bahwa apa yang didapat sahabat dari Rasulullah seluruhnya terserap oleh sahabat dan ilmu tersebut dipancarkan kembali oleh para sahabat melalui hadist-hadsit yang mereka riwayatkan. Kita sebut saja mereka ini adalah ISLAM MADRASAH SAHABAT. Sementara kami mengambil sunnah  dari Ali. Kami meyakini satu-satunya sahabat dan keluarga beliau yang mampu menyerap seluruh pancaran ilmu Nubuwah dari Rasulullah saw hanyalah Ali, kemudian setelah itu Hasan, Hussein dan seterusnya hingga Imam yang ke 12 atas mereka kesejahteraan. INILAH ISLAM MADRASAH KELUARGA DAN ANAK TURUNAN NABI, MADRASAH AHLULBAIT.
Jâbir bin Abdillah berkata: “Pada peristiwa Hudaibiyah, aku mende-ngar Rasulullah saw. bersabda sambil memegang tangan Ali as.: “Orang ini adalah pemimpin orang-orang saleh, pembasmi orang-orang zalim, akan ditolong siapa yang membelanya, dan akan terhina siapa yang menghinanya.’ Lalunya mengeraskan suaranya: “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya. Barang siapa yang ingin memasuki rumah, hendaklah ia masuk melalui pintunya.’” Târîkh Bagdad, Jil. 2/ 377.

Ibn Abbâs berkata: “Rasulullah saw. bersabda: “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Barang siapa yang ingin memasuki kota, maka hendaklah ia mendatangi pintunya.” Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 6/ 401.
Rasulullah saw. bersabda: “Ali adalah pintu ilmuku dan penjelas risalahku kepada umatku sepeninggalku nanti. Mencintainya adalah iman, memurkainya adalah kemunafikan, dan memandangnya adalah kasih sayang.” Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 6/ 156; As-Shawâ‘iq Al-Muhriqah, hal. 73.

Itulah alasannya mengapa kami berpegang kepada Ali sesudah Rasulullah.Disamping itu, hadist-hadist lain memberitakan pada kita bahwa dalam segenap perselisihan yang terjadi di kalangan ummat, Ali adalah penjelas dari apa yang mereka perselisihkan. Rasul;ullah bersabda <” Kamu adalah penjelas terhadap ummatku apa-apa yang mereka perselisihkan sesudah aku .”  silakan rujuk Mustadrak Alhakim jilid 3 hal 122 / Muntakhab Kanzul Ummal Musnad Ahmad jilid 5 hal 133 .

Selanjutnya Rasulullah bersabda mengenai kepemimpinan Ali sesudah beliau ,” Siapa yang ingin hidup seperti hidupku dan wafat seperti wafatku serta masuk surge yang telah dijanjikan kepadaku oleh Tuhanku yaitu Jannatul Khuld. MAKA HENDAKLAH IA BERWILAYAH KEPADA ALI DAN KETURUNAN SESUDAHNYA , KARENA SESUNGGUHNYA MEREKA TIDAK AKAN MENGELUARKANMU DARI PETUNJUK DAN TIDAK AKAN MEMASUKANMU KE DALAM PINTU KESESATAN.” Silakan rujuk Sahih Bukhari jilid 5 hal 65 cetakan Darul Fikri , atau Bukhari jilid 5 hal 159 cetakan Matabi` Asysya`b. Dalam Sahih Muslim, hadist senada bisa dilihat di jilid 2 , halaman  51, cetakan Alhalabi ; jilid 5 hal 119 cetakan Syirkah Al `ilanat.

Itulah alasannya mengapa kami mengkultuskan Ali, karena Rasulullah memerintahkan kita semua untuk mengkultuskan Ali setelah Nabi. Selanjutnya bila ada salafiyun yang mempermasalahkan hadist-hadits tersebut, maka kami akan bertanya : BUKANKAH SELURUH HADIT TERSEBUT YANG KAMI TUNJUKAN ADALAH RUJUKAN AHLUSUNNAH? BILA KALIAN SENDIRI MENGINGKARI DAN MENOLAKNYA, BUKANKAH SEMUA ITU ADALAH RUJUKAN KALIAN? BILA KALIAN SENDIRI MENGINGKARINYA , MENGAPA KAMI DITUDUH SESAT KARENA MENOLAK BERPEGANG PADA HADIST-HADIST RIWAYAT AHLUSUNNAH, SEMENTARA KALIAN SENDIRI PUN MENOLAK HADIST-HADIST YANG ADA DALAM KITAB RUJUKAN KALIAN SENDIRI . JIKA KALIAN SENDIRI MERAGUKANNYA ,  MENGAPA KAMI DIPAKSA MEYAKINI SESUATU YANG KALIAN SENDIRIPUN MERAGUKANNYA DAN KAMI DICAP SESAT KARENA MENOLAK APA-APA YANG KALIAN YAKINI ?


Ilmu Imam Ali as Dalam Bidang Matematikahttp://www.balaghah.net/nahj-htm/id/id/makalah/9006/026.htm

Upah Penggali Sumur
Dia sepakat dengan seorang penyewanya akan menggali sumur sedalam 10 kali tinggi badan, dengan upah 10 dirham. Si penggali sumur tiba-tiba berhenti, setelah menggali sedalam 1 tinggi badan. Mereka kemudia menemui Amirul Mukminin as untuk bertanya, berapa upah si penggali sumur ini? Imam Ali as menjawab, “Bagilah 10 dirham menjadi 55 bagian, satu bagian darinya berikan kepada penggali sumur.”
Salah satu masalah matematika, karena usaha menggali tanah dengan kedalaman 2 meter sama dengan dua kali lipat menggali tanah dari kedalaman 1 meter, dan seterusnya sampai kedalaman 10 meter.
Untuk menghitung upah dalam tiap tinggi badan, perhitungan kita untuk sumur adalah: 1+2+3+4+5+6+7+8+9+10=55.
Dengan argumen inilah, Imam Ali as mengatakan, “Bagilah 10 dirham menjadi 55 bagian.” Misalnya, jika upah menggali sumur sedalam 10 meter itu adalah 5500 rupiah, maka upah setiap meternya adalah:
5500/55= 100 rupiah upah menggali 1 meter pertama.
100 x 2 = 200 rupiah upah menggali meter kedua.
100 x 3 = 300 rupiah upah menggali meter ketiga.
100 x 4 = 400 rupiah upah menggali meter keempat.
100 x 5 = 500 rupiah upah menggali meter kelima.
100 x 6 = 600 rupiah upah menggali meter keenam.
100 x 7 = 700 rupiah upah menggali meter ketujuh.
100 x 8 = 800 rupiah upah menggali meter kedelapan.
100 x 9 = 900 rupiah upah menggali meter kesembilan.
100 x 10 = 1000 rupiah upah menggali meter kesepuluh.
Oleh karena itu, ketika masalah tersebut dinyatakan kepada Imam Shadiq as, beliau menjawab, “Bagilah 10 dirham menjadi 55 bagian dan seperlima puluhnya diberikan kepada si penggali sumur.”[1]
Penyelesaian Perselisihan
Dua orang dalam perjalanan duduk di depan meja makan, yang satu mengeluarkan 5 potong roti, dan yang lain mengeluarkan 3 potong roti. Keduanya meletakkan roti di atas satu meja. Ketika hendak makan, datang orang Arab dan duduk bersam mereka. Salah satu kebiasaan orang Arab jika lapar dan ada makanan di atas meja makan, mereka akan duduk untuk makan. Maka tiga orang tersebut makan bersama 8 potong roti di atas satu meja. Si tamu (orang Arab) menaruh delapan dirham di atas meja lalu pergi. Kemudian dua orang itu berselisih dalam membagi 8 dirham, pasalnya pemilik 5 potong roti ingin mengambil 5 dirham dan sisanya 3 dirham diberikan pada pemilik 3 potong roti tetapi tidak setuju. Akhirnya, mereka terpaksa mendatangi Imam Ali as.
Imam Ali as berkata, “Damai saja kalian!” Tetapi mereka tidak mau berdamai. Mereka meminta penjelasan yang benar dari Imam Ali as. Beliau berkata, “Tujuh dirham untuk di pemilik 5 potong roti dan 1 dirham untukmu (si pemilik 3 potong roti).” Si pemilik 5 potong roti merasa heran dan ingin penjelasan yang lebih terang dari Imam Ali as. Beliau as berkata, “Kalian (3 orang) masing-masing telah makan 2 2/3 dari semua roti di atas meja; 2 2/3 x 3= 8/3 x 3/1= 24/3= 8 (roti). Kamu yang punya 3 potong roti telah makan dari 2 2/3 roti tersebut dan si tamu (orang Arab) cuma makan 1/3 dari rotimu dan 2 1/3 dari 5 potong roti milik kawanmu, dan 2 1/3 (yang telah dimakan si tamu) sama dengan tujuh kalinya 1/3. jadi dari 8 dirham ini, 7 dirham milik kawanmu dan 1 dirham sisanya adalah milikmu.”[2]
Masa Tidurnya Ashabul Kahfi
Dan mereka tinggal dalam gua mereka selama tiga ratus dan ditambah sembilan tahun (lagi).”[3]
Banyak sekali keajaiban yang ada dalam al-Qur’an, salah satunya adalah kisah Ashabul Kahfi:
1-   Arti kata “yaum” dalam bahasa Aran adalah hari, dan disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 365 kali.
2-   Arti kata “syahr” adalah bulan, disebutkan 12 kali.
3-   Kata “Imam” dalam bentuk tunggal dan jamak disebutkan 12 kali.
4-   Kata “rajul” yang artinya adalah laki-laki, disebut sampai 24 kali.
5-   Kata “imra’ah” yang artinya adalah wanita, juga disebut sampai 24 kali.
6-   Kata “dunya” dan “akhirah” masing-masing sebanyak 115 kali.
7-   Tentang berapa lama waktu tidurnya Ashabul Kahfi, ayat di atas menyebutkan 300 tahun dan juga 309 tahun.
Pernah seorang alim Bani Israel bertanya kepada Imam Ali as, “Disebutkan dalam kitab kami Taurat, bahwa lamanya tidur Ashabul Kahfi 300 tahun. Kisah ini terdapat dalam kitab Taurat tidak berarti Ashbul Kahfi hidup sebelum zaman Nabi Musa as, karena ulama Yahudi menambahkan peristiwa-peristiwa di zaman Musa as menurut apa yang tertinggal dalam Taurat yang asli, kemudian kitab ini secara bertahap menjadi sempurna sebagaimana bentuk yang ada sekarang ini. Sedangkan kitab Anda al-Qur’an menyebutkan 309!” islamshia-w.com

[1]Kafi Syarif, jil 7, hal. 422, 433; al-Muqni, hal. 402; Wasailusy Syi’ah, jilid 19, hal. 159.
[2]Biharul Anwar, juz 40, hal 263; Nasikhut Tawarikh, jilid 5, hal. 78.
[3]QS. Al-Kahfi [18]: 25.

Imam Ali dan Matematika

posted by:
noenknoenk
Imam Ali bin Abi Thalib, diberkahi Allah dengan kemampuan matematika yang luar biasa. Berikut ini adalah beberapa cerita menarik, tentang kecemerlangan ilmu Imam Ali

Bilangan Bulat dan bilangan Pecahan

Suatu Hari, seorang Yahudi datang kepada Imam Ali (as.), untuk menguji kecerdasan Imam Ali (as.), “aku akan bertanya kepadanya, sebuah pertanyaan yang sulit untuk ia jawab, aku yakin, dia tidak akan mampu menjawabnya dan aku akan memiliki kesempatan untuk mempermalukannya di depan semua orang Arab”.

orang yahudi itu bertanya, “Imam Ali, katakan kepadaku tentang sebuah angka, yang ketika kita, membagi angka tersebut, dengan angka 1 sampai 10, jawabannya yaitu selalu bilangan bulat, dan bukan bilangan pecahan?”

Imam Ali (as.) menjawab, “hitunglah jumlah hari dalam setahun, dan kalikan dengan jumlah hari dalam seminggu, dan Anda akan memiliki jawaban Anda.”

lalu Orang Yahudi itu, menghitung jawaban Imam Ali (as), yang diberikan kepadanya.

Kemudian, ia menemukan hasilnya sebagai berikut:
- Jumlah Hari dalam 1 Tahun = 360 (kalender Arab)
- Jumlah Hari dalam 1 Minggu = 7
- hasil perkalian dari dua angka diatas = 360×7 = 2520

Sekarang buktikan …

2520 ÷ 1 = 2520
2520 ÷ 2 = 1260
2520 ÷ 3 = 840
2520 ÷ 4 = 630
2520 ÷ 5 = 504
2520 ÷ 6 = 420
2520 ÷ 7 = 360
2520 ÷ 8 = 315
2520 ÷ 9 = 280
2520 ÷ 10 = 252

kisah tentang Lima Roti

Zar Bin Hobeish, menceritakan kisah ini: Dua pengembara duduk bersama dan mereka makan roti. pengembara pertama, mempunyai 5 roti; pengembara kedua, mempunyai 3 roti. lalu datanglah Pengembara ketiga, melintas di depan mereka, dan atas permintaan dari pengembara pertama dan pengembara kedua, pengembara ketiga ini diajak untuk bergabung dan menikmati roti mereka. lalu Para pengembara memotong masing-masing roti yang jumlahnya 8, menjadi tiga bagian yang sama. Masing-masing dari pengembara tersebut, makan delapan potongan roti.

Pada saat pengembara ketiga meninggalkan keduanya, ia mengeluarkan uang sebesar 8 dirham, dan diberikan kepada kedua pengembara tersebut, yang telah menawarkan makanan kepadanya. Setelah menerima uang, kedua pengembara itu, mulai berselisih tentang pembagian uang tersebut. Pengembara pertama dengan 5 roti, meminta bagian, berupa uang lima dirham. Pengembara kedua dengan tiga roti, bersikeras membagi uang, menjadi dua bagian yang sama (masing-masing 4 dirham ).

Perselisihan ini akhirnya dibawa kepada Imam Ali (as.).
Imam Ali (as.) meminta pengembara kedua, yang punya 3 roti, untuk menerima uang tiga dirham, karena pengembara pertama, yang punya lima roti, telah lebih adil kepada anda. Pengembara kedua, menolak dan mengatakan bahwa, ia akan bersikeras untuk mendapatkan uang empat dirham.
lalu Imam Ali (as.) menjawab, “Anda hanya berhak memiliki satu dirham. Anda berdua memiliki 8 roti (5+3). Setiap roti dipotong, menjadi tiga bagian yang sama. Oleh karena itu, Anda memiliki 24 bagian yang sama, 8×3 = 24. Tiga roti anda(pengembara yang kedua) menjadi 9 bagian, kemudian dari 9 bagian roti tersebut, telah Anda makan 8 porsi, dan anda hanya memberikan 1 porsi, untuk pengembara ketiga. (3×3)=9; 9-8 = 1.
pengembara pertama, yang memiliki 5 roti, kemudian dipotong menjadi 3 bagian yang sama, jadi 15 porsi. Ia makan 8 porsi, dan sisanya, yaitu 7 porsi, diberikan kepada pengembara ketiga.(5×3)=15; 15-8 = 7.
Jadi, pengembara kedua, harus mendapatkan satu dirham, dan pengembara pertama, harus menerima tujuh dirham.“

Pembagian harta Warisan

sebelum meninggal, ada seseorang menulis surat wasiat sebagai berikut:

"Saya memiliki 17 unta, dan saya punya 3 anak laki-laki. Bagilah unta saya tersebut kepada anak-anakku, sehingga anak sulung saya, mendapat setengah dari seluruh unta saya (17), anakku yang kedua, mendapatkan 1/3 dari seluruh unta saya (17) dan putra bungsu saya, mendapatkan 1/9 dari seluruh Unta saya (17)."

Setelah orang tersebut meninggal, anak-anaknya kemudian membaca surat wasiat tersebut, dan mereka sangat bingung, dan berkata, "bagaimana kita bisa membagi 17 unta ini.?"

kemudian mereka datang kepada Imam Ali (AS), dan meminta pendapat imam ali (as).

Imam Ali (AS) berkata, "baiklah, aku akan membagi 17 unta tersebut, sesuai dengan surat wasiat yang disebutkan."

kemudian Imam Ali (AS) berkata, "Aku akan meminjamkan satu untaku, sehingga totalnya menjadi 18 (17 +1 = 18), dan memungkinkan untuk membagi unta tersebut, sesuai surat wasiat."

Anak sulung, mendapat 1/2, dari 18 unta = 9
anak Kedua, mendapat 1/3, dari 18 unta = 6
anak Bungsu, mendapat 1/9, dari 18 unta = 2

jumlah unta = 17 (9 + 6 + 2 = 17)

Kemudian Imam Ali (AS) berkata, "Sekarang, aku akan mengambil untaku kembali."
http://nayrachedq.blogspot.com/2010/11/imam-ali-dan-matematika.html