Bsimillah. Allahumma shalli `ala
Muhammadin sayidil mursalin wa aalihit thahirin.
Salah satu Isue yang disebarluaskan kaum wahabi-takfiri adalah bahwa orang-orang Syiah
terbebas dari kewajiban Jum`atan. Bahkan ada seorang wahabi-takfiri di Grup Face Book Info Salafi yang ikut menyebarluaskan
kebohongan ini. Salah satu web propaganda anti syiah yang ikut menyebarluaskan isue ini diantaranya http://aslibumiayu.wordpress.com/2012/01/07/belum-ada-kewajiban-shalat-jumat-di-iran-keanehan-di-negara-syiah-aneh-tapi-nyata/ . Web tersebut mengutip cerita Pak Dahlan Iskan selama di Iran, dan penulis membuat kesimpulan bahwa di Iran shalat jumat belum di wajibkan.
Pada tulisan kali ini kami akan ajak pembaca untuk menyimpulkan sendiri apakah benar di Iran tidak ada shalat Jumat sebagaimana isue yang mereka hembuskan, ataukah itu semua adalah kebohongan yang mereka sebarkan untuk memecah belah NKRI ?
Pada tulisan kali ini kami akan ajak pembaca untuk menyimpulkan sendiri apakah benar di Iran tidak ada shalat Jumat sebagaimana isue yang mereka hembuskan, ataukah itu semua adalah kebohongan yang mereka sebarkan untuk memecah belah NKRI ?
“Kami mendarat di bandara internasional Imam Khomeini Teheran menjelang waktu shalat Jumat. Maka saya pun ingin segera ke masjid: sembahyang Jumat. Saya tahu tidak ada kampung di sekitar bandara ini. Dari atas terlihat bandara ini seperti benda jatuh di tengah gurun tandus yang maha luas. Tapi setidaknya pasti ada masjid di bandara itu.
“
Memang ada masjid di bandara itu tapi tidak dipakai sembahyang Jumat. Saya pun minta diantarkan ke desa atau kota kecil terdekat. Ternyata saya kecele. Di Iran tidak banyak tempat yang menyelenggarakan sembahyang Jumat. Bahkan di kota sebesar Teheran, ibukota negara dengan penduduk 16 juta orang itu, hanya ada satu tempat sembahyang Jumat. Itu pun bukan di masjid tapi di universitas Teheran. Dari bandara memerlukan waktu perjalanan 1 jam. Atau bisa juga ke kota suci Qum. Tapi jaraknya lebih jauh lagi. Di Negara Islam Iran, Jumatan hanya diselenggarakan di satu tempat saja di setiap kota besar.
“Jadi, tidak ada tempat Jumatan di bandara ini?,” tanya saya.
“Tidak ada. Kalau kita kita mau Jumatan harus ke Teheran (40 km) atau ke Qum (70 km). Sampai di sana waktunya sudah lewat,” katanya.
Jadi, BUKANNYA TIDAK ADA SHALAT JUM`AT DI NEGARA IRAN. PERNYATAAN TIDAK ADA SHALAT JUMAT DI NEGARA IRAN ADALAH PERNYATAAN PARA PENGHASUD WAHABI-TAKFIRI YANG PENUH KEBOHONGAN . PERHATIKAN BAIK-BAIK PERNYATAAN PAK DAHLAN ISKAN : Di Negara Islam Iran, Jumatan hanya diselenggarakan di satu tempat saja di setiap kota besar. JADI, DI IRAN HANYA ADA SATU TEMPAT DI SETIAP KOTA YANG MENYELENGGARAKAN JUM`ATAN. Bukankah ini menunjukan bahwa di Iran penyelenggaraan shalat jumat itu terpusat ?
Lalu, bagaimana para propaganda wahabi-salafi bisa menyimpulkan dari pernyataan tersebut bahwa di Iran shalat jumat belum diwajibkan ? Pernyataan Pak dahlan Iskan "Di Negara Islam Iran, Jumatan hanya diselenggarakan di satu tempat saja di setiap kota besar " sama sekali tidak menyiratkan tidak diwajibkannya salat jumat di Iran. Pernyataan tersebut justeru menunjukan adanya ibadah shalat Jumat di Iran yang tertib dan terpusat, sehingga dalam satu kota hanya ada satu tempat saja yang menyelenggarakanya.
Tentunya para pembaca bertanya-tanya , mengapa ibadah Jumat mesti dipusatkan di satu tempat saja di setiap kotanya ? Mengapa
masjid-masjid kecil tidak menyelenggarakan jumatan? Dan mengapa kaum wanita Iran juga ikut melaksanakan Jumatan ?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita mesti memahami fiqih syiah ahlulbait.
Tentunya bila ada orang syiah Iran yang tidak memahami fiqih popular masyaraklat
muslim Indonesia juga mereka akan kebingungan dan bertanya ; MENGAPA DI INDONESIA
KAUM WANITANYA TIDAK MELAKSANAKAN JUMATAN? MENGAPA TIDAK ADA BATASAN JARAK
DALAM MENYELENGGARAKAN JUMATAN SEHINGGA
MESJID-MESJID YANG BERDEKATAN MENYELENGGARAKAN JUMATAN ? MENGAPA PENYELENGGARAAN JUMATAN TIDAK TERATUR
DI IN DONESIA ? PADAHAL BUKANKAH MAYORITAS MASYARAKAT INDONESIA ADALAH
PENGIKUT SUNI SYAFII, LALU MENGAPA MASJID KECIL MENYELENGGARAKAN IBADAH
JUMATAN, PADAHAL MAKMUMNYA CUMA 20 ORANG LEBIH, BUKANKAH JUMATANNYA TIDAK SAH ?
Pertanyaan tersebut bukannya mengada-ada, pertanyaan
demi pertanyaan tersebut emmang pernah terlontar dari Mr.Hamid , seorang warga Iran yang ada sempat tinggal di Indonesia. Sebelum ke Indonesia, beliau sempat mempelajari
fiqih syafii yang dianut oleh mayoritas muslimin di Indonesia. Dan
betapa kagetnya Mr. Hamid, ternyata fiqih suni syafii tidak diterapkan di masjid-masjid
Indonesia.
Langsung saya jelaskan bahwa aturan-aturan dalam
fiqih suni-syafiii kurang begitu disosialisasikan di kota-kota besar, karena
para pengurus masjid suni-syafii sendiri pun banyak yang kurang memahami fiqih
syafii, alias banyak yang tidak mesantren. Disamping itu , masjid-masjid di
kota besar , banyak yang dipengaruhi faham-faham wahabi-dan faham-faham
pembaharuan Islam lainnya, sehingga masjid-masjid suni-syafiii tersisihkan. “
Tapi kalau Mr.hamid datang ke daerah-daerah luar perkotaan seperti Banjar
Ciamis, pelaksanaan Jumatan lebih tertib dari di perkotaan. Hanya masjid-masjid
Jami` saja yang menyelenggarakan jumatan. Mesjid-mesjid suni-syafiii yang kecil,
langgar dan mushola , tutup pada saat diselengarakan Jumatan” terang
saya.
Rukun dan Syarat Jum`atan Menurut Fiqh Mazhab Suni Syafii
Seperti halnya dalam fiqih Syiah Ahlulbat,
dalam fiqh suni Syafii pun ada
aturan-aturan yang tertib dalam
penyelengaraan Ibadah Shalat Jumat. Dalam bahasa Pesantrennya, ada rukun dan
syarat dalam Ibadah jum`at. Tidak sembarangan, karena bila tidak memenuhi rukun
dan syarat tersebut maka shalat Jumat dianggap menjadi tidak sah, dan mesti
digantikan dengan ibadah Shalat Dzuhur. Setidaknya begitu pelajaran yang saya
dapat ketika saya masih mesantren di Pesantren Salafiah Alfalah Cicalengka
Bandung.
Dalam Masalah Bilangan atau jumlah misalnya, Mazhab Suni
Syafii memberi batasan yaitu mesti minimal 40 orang atau lebih. Artinya bila
jamaah kurang dari 40 orang , maka ibadah shalat Jumatnya dianggap tidak sah
dan mesti digantikan dengan Shalat Dhuhur.
Disamping itu, ke 40 orang tersebut mestilah laki-laki yang yang mencapai usia baligh, sehat fikirannya, dan muqimin atau penduduk setempat yang bukan pendatang.( silakan periksa fiqih Suni Syafii di http://kitab-kuneng.blogspot.com/2012/03/tata-laksana-shalat-jumat.html atau http://madadunnabawiy.blogspot.com/2009/08/fiqh-imam-syafii-7.html ). Jadi, bila dalam suatu masjid jumlah jamaahnya kurang dari 40 orang, maka ibadah Jumatnya dianggap tidak sah dalam mazhab Syafii. Demikian pula seandainya jumlahnya mencapai 40 tetapi bila didalam bilangan 40 tadi ada seorang trans seksual atau dalam bahasa sekarang disebut alay, juga ada bebrapa remaja tanggung yang belum aqil baligh, dan ada lebih dari 5 orang yang bukan muqimin (bukan penduduk setempat) , maka lagi-lagi akan dianggap belum memenuhi syarat, dan tidak sah shalat jumatnya menurut mazhab Suni Syafii. Disamping itu ada pula syarat lainnya yaitu seorang khatib shalat Jumat mesti sesuai persyaratan diantaranya memahami hokum-hukum aturan penyelengaraan shalat Jumat, hal ini berbeda dengan praktek yang terjadi di kota-kota. Seorang khatib bisa siapa saja termasuk cendikiawan ,tanpa kita mengetahui ia sudah memahami hokum-hukum fiqih Jumatan atau tidak.
Adapun dalil-dalil penetapan ahli Jum’at, sekurang-kurangnya empat puluh
orang, antara lain hadits riwayat Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik dari bapaknya Ka’ab
bin Malik,
أنه كان إذا سمع النداء يوم الجمعة ترحم على أسعد بن زرارة فقلت له إذا
سمعت النداء ترحمت لأسعد قال لأنه أول من جمّع بنا في هزم النَبيتِ من حَرّة بني
بَياضةَ في نَقيع يقال له نقيع الخَضِمات قلت له كم كنتم يومئذ قال أربعون
Artinya : Sesungguhnya
Ka’ab bin Malik apabila mendengar azan pada hari Jum’at, mendo’akan rahmat
untuk As’ad bin Zararah. Karena itu, aku bertanya kepadanya : “Apabila
mendengar azan, mengapa engkau mendo’akan rahmat untuk As’ad ? Ka’ab bin
Zararah menjawab : “As’ad adalah orang pertama yang mengumpulkan kami shalat
Jum’at di sebuah perkebunan di Desa Hurah Bani Bayadhah pada sebuah lembah yang
disebut dengan Naqi’ al-Khashimaat. Aku bertanya padanya : “Kalian berapa orang
pada saat itu ?” Beliau menjawab : “Empat puluh orang.” (H.R. Abu Daud, Ibnu
Majah, Ibnu Hibban dan Hakim. Berkata Baihaqi : hadits hasan dengan isnad
sahihIbnu Mulaqqan, Tuhfah al-Muhtaj ila
adallah al-Minhaj, Juz. I, Hal. 494. Lihat juga Baihaqi, Sunan
al-Baihaqi, Maktabah Dar al-Baz, Makkah, Juz. III, Hal. 177, No. Hadits
: 5396 ).
Disamping itu, ke 40 orang tersebut mestilah laki-laki yang yang mencapai usia baligh, sehat fikirannya, dan muqimin atau penduduk setempat yang bukan pendatang.( silakan periksa fiqih Suni Syafii di http://kitab-kuneng.blogspot.com/2012/03/tata-laksana-shalat-jumat.html atau http://madadunnabawiy.blogspot.com/2009/08/fiqh-imam-syafii-7.html ). Jadi, bila dalam suatu masjid jumlah jamaahnya kurang dari 40 orang, maka ibadah Jumatnya dianggap tidak sah dalam mazhab Syafii. Demikian pula seandainya jumlahnya mencapai 40 tetapi bila didalam bilangan 40 tadi ada seorang trans seksual atau dalam bahasa sekarang disebut alay, juga ada bebrapa remaja tanggung yang belum aqil baligh, dan ada lebih dari 5 orang yang bukan muqimin (bukan penduduk setempat) , maka lagi-lagi akan dianggap belum memenuhi syarat, dan tidak sah shalat jumatnya menurut mazhab Suni Syafii. Disamping itu ada pula syarat lainnya yaitu seorang khatib shalat Jumat mesti sesuai persyaratan diantaranya memahami hokum-hukum aturan penyelengaraan shalat Jumat, hal ini berbeda dengan praktek yang terjadi di kota-kota. Seorang khatib bisa siapa saja termasuk cendikiawan ,tanpa kita mengetahui ia sudah memahami hokum-hukum fiqih Jumatan atau tidak.
Itulah
sebabnya para ulama Syafiiyah di daerah-daerah terpencil mengadakan aturan
untuk ketertiban Jumatan, yaitu dengan memusatkan penyelengaraan Jumatan hanya di
masjid Jami`. Dari sisi ini, ada kesamaan dengan masyarakat Iran yang
menyelenggarakan Jumatan hanya Satu tempat di satu kota. Perhatikan cerita Pak Dahlan Iskan di atas ,’ Di Negara Islam Iran, Jumatan hanya
diselenggarakan di satu tempat saja di setiap kota besar.“Jadi, tidak
ada tempat Jumatan di bandara ini?,” tanya saya.“Tidak ada. Kalau kita kita mau
Jumatan harus ke Teheran (40 km) atau ke Qum (70 km). Sampai di sana
waktunya sudah lewat,” katanya.
Tidak
hanya itu, dalam Mazhab Syafii pun ada aturan bahwa jarak dari mesjid satu ke
mesjid lainnya yang menyelenggarakan
Jumatan itu adalah 40 farsakh, atau sekitar 20 an km. Dan bila di sebuah negeri
ada masjid-mesjid yang beredekatan yanag masing-masing menyelenggarakan shalat Jumat, maka mesjid
yang lebih dahulu adzan dan iqomahl;ah yang sah, sementara di masjid lainnya
dianggap tidak sah dan makmum mesti menggantikannya dengan shalat dhuhur.
Itulah aturan penyelengaraan shalat Jumat dalam Mazhab Suni-syafii.
Saya tidak akan menghakimi bahwa praktek
penyelenggaraan shalat Jumat di kota-kota di Indonesia terbilang tidak tertib , tidak
teratur atau tidak terpusat. Tetapi silakan saudara pembaca nilai sendiri berdasarkan
fiqih Mazhab Suni-syafii . Masjid-masjid yang saling berdekataan berlomba-lomba
menyelenggarakan shalat Jumat walaupun jarak
antar masjid tersebut kurang dari persyaratan. Sementara itu dari
segi jumlah, ada beberapa masjid kecil yang memaksakan diri menyelenggarakan
jumatan. Ada yang masjid yang jumlah jamaahnya hanya 20 orang lebih, ada juga yang mencapai empat
puluh orang tetapi 90%nya adalah bukan penduduk
setempat . Entah karena malas atau
karena alasan tertentu yang dibuat-buat, mereka tidak mau memusatkan ibadah Jumatnya di Masjid Jami, padahal seharusnya jika kita menjalankan fikih mazhab
suni syafii secara konsekwen, maka hanya ada satu Masjid Jami yang
mennyelenggarakan Salat Jumat untuk tiap 20 kilometer. Bila penyelenggaraan shalat Jumat terpusatkan sesuai dengan aturan dalam mazhab suni syafii, bukankah ini mirip
dengan Iran, di satu kota hanya ada satu tempat yang menyelenggarakan ibadah
Salat Jumat
Shalat Jumat dalam Mazhab Syiah Ahlul Bait
Dalam Buku Shalat Dalam mazhab Ahlul Bait yang
disusun Hidayah Husein Alhabsyi, yang merupakan panduan fiqih praktis populer
dipakai Muslim penganut Mazhab Syiah AhlulBait Indonesia, pada Bab Shalat Jumat
halaman 179 disebutkan bahwa shalat jumat hukumnya adalah wajib Ikhtiyari. Sekali lagi saya
tekankan, shalat jumat itu hukumnya wajib ikhtiyari. Artinya ibadah Jumat itu hukumnya wajib , akan
tetapi bila belum terpenuhi persyaratan dalam penyelenggaraan Jumat di suatu
tempat, maka seorang pengikut mazhab ahlulbait bisa memilih antara shalat
Dhuhur atau tetap melaksanakan Shalat jumat di tempat yang belum memenuhi
syarat tersebut (mesjid-mesjid yang berdekatan ) . Belakang ini sayid Ali Khamenei
menganjurkan muslim syiah shalat di masjid-masjid suni dnegan niat untuk
menjaga persatuan tanpa perlu mengulang shalat dhuhur walaupun mesjid tersebut
bemum memenuhi persyaratan dalam penyelenggaraan Ibadah Jumat.
Mazhab Syiah Ahlul Bait menekankan pentingnya
keberadaan seorang pemimpin untuk mengatur penyelenggaraan ibadah shalat jumat ini dengan
tertib dan terpusat sesuai persyaratan fiqih. Itulah sebabnya Negara Iran yang mayoritas
penduduknya penganut Muslim Syiah Ahlulbait, begitu memperhatikan
penyelenggaraan ibadah yang satu ini sehinggan terpusat, tertib dan teratur. Di setiap
kota, Ibadah jumat dipimpin oleh seorang khatib dan Imam yang sudah dipilih dan
kredibel, hanya seorang Ayatullah yang telah menempuh pendidikan keagamaan
selama puluhan tahunlah yang menjadi khatib. Tidak sembarang orang. Di hari Jumat, masyarakat muslim
Iran berbondong-bondong memadati tempat diselenggarakannya ibadah Salat Jumat. Hal
ini adalah sebagai mana firman Allah dalam Al quran :
Hai orang-orang beriman,
apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui.(Q.S. al-Jum’at : 9)
Pelaksanaan Ibadah Shalat Jumat di Iran , silakan
klik http://islamtimes.org/vdcftydytw6dmca.,8iw.html
Karena mengetahui pentingnya shalat Jumat, bahkan wanita pun ikut shalat Jumat di iran, Ibadah ini mirip dengan shalat Idul Fitri di Indonesia. Jutaan orang tumplek ke jalan-jalan. Bukankah ini menunjukan betapa fahamnya masyarakat SYiah Iran tentang wajibnya ibadah ini ?