Ali adalah Wajah Allah
Dalam berbagai situs-situs mereka, kaum salafi-takfiri menyebarkan issue bahwa orang syiah telah terjerumus dalam penyimpangan, karena meyakini bahwa Ali adalah wajah Allah. Dengan trik ini, mereka hendak mengarahkan pembacanya mempercayai propaganda bahwa orang syiah meyakini Ali adalah bagian dari tubuh tuhan mereka .Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan.Pada pembahasan ini, saya akan mengajak saudara pembaca untuk berfikir dan menjadi hakim dengan akal fkiran saudara pembaca untuk kemudian menyimpulkan, apakah kami atau mereka yang menyimpang dari Aqidah yang lurus.
Kaum wahabi memahami bahwa Allah memiliki tangan sebagaimana halnya manusia., Allah duduk di Arasy sebagaimana manusia yang duduk di kusi, dan mereka pun meyakini bahwa Allah memiliki wajah sebagaiamana manusia memiliki wajah. Aqidah ini dikenal dengan aqidah tajsim atau jisimiyah sebagaimana kaum Yahudi meyakini Tuhan mereka, yaitu meyakini bahwa Dzat Ilahi itu seperti makhluq, terdiri dari bagian-bagian seperti tangan , kaki, kepala. Maha suci Tuhan dari apa yang mereka sifatkan.Selanjutnya, dengan keyakinan sesat tersebut, mereka menuduh orang syiah meyakini " ALi wajah Allah" dalam sudut pandang mereka yang sempit dan salah.KAMI TIDAK PERNAH MEYAKINI BAHWA ALI ADALAH WAJAH ALLAH DALAM KONTEKS ALI ADALAH BAGIAN DARI TUBUH TUHAN ATAU BAGIAN DARI DZAT TUHAN, ITU ADALAH PEMAHAMAN YANG SESAT DAN KELIRU YANG HANYA ADA DALAM KERANGKA BERFIKIRNYA KAUM SALAFI TAKFIRI.
Mereka kaum salafi-wahabi –takfiri meyakini bahwa istilah-istilah Alquran seperti “ tangan Allah “, “kaki Allah” , “ wajah Allah” , tidak boleh ditakwilkan. Maka menurut mereka , kafirlah orang-orang yang mentakwilkan “ tangan Allah” adalah kekuasaan, “ wajah Allah” adalah keindahan perwujudan alam semesta sebagai manifestasi ilmu dan kuasaNya Ilahi. Bagi mereka, tangan Allah adalah betul-betul tangannya Allah, dan “wajah Allah” adalah betul-betul adalah wajahnya Allah. Mereka menganggap sesat para ulama yang berani mentakwilkan istilah-istilah tersebut, akan tetapi tanpa sadar mereka pun telah “berani” mentakwilkan istilah-istilah tersebut dengan penakwilan secara tekstual harfiah, dengan keterbatasan pemahaman mereka bahwa tuhan itu benar-benar berwujud fisik. Bila mereka kaum salafi mengharamkan penakwilan, mengapa mereka pun menakwilkan istilah-istilah tersebut secara tekstual?
Para Mufasir syiah ternyata tidak sependapat dengan penakwilan “Wajah Allah” sebagaimana yang difahami kaum pengikut agama Salafi, yakni wajah difahami benar-benar wajah, yaitu bagian dari “ kepala “Nya Allah (subhanallahi amma yushifun). MEYAKINI BAHWA TUHAN TERDIRI DARI BAGIAN-BAGIAN ADALAH KEYAKINAN YANG DIANGGAP BATHIL OLEH PARA ULAMA SYIAH. Para teolog , mufasir dan ulama syiah senada dalam satu keyakinan bahwa Dzat Azza wajalla yang suci itu adalah tidak terdiri dari bagian-bagian sebagaimana yang diyakini kaum pengikut agama salafi dan agama Yahudi pada umumnya. Maka para mufasir syiah memahami bahwa term “ WAJH ALLAH “ ini adalah suatu istilah majazi yang digunakan Qur`an , PARA ULAMA KAMI SEKEYAKINAN BAHWA “WAJAH ALLAH” BUKANLAH TERMASUK BAGIAN DARI DZAT ALLAH, bukan bagian dari “tubuh” Tuhan.Maha suci Tuhan dari terbagi-bagi kedalam bagian bagian, maha suci Tuhan dari kesamaan dengan makhluk sebagaimana yang diyakini kaum salafi-takfiri.
Pembahasan tentang “wajah Allah” adalah pembahasan yang sangat rumit dan cukup berat. Beberapa buku ulama syiah yang mencoba memberikan gambaran penafsiran “Wajah Allah” pernah coba saya lalap, tapi rasanya cukup berat saya rasakan untuk memahaminya. Akan tetapi Ust Jalaludin Rahmat , salah seorang tokoh syiah Indonesia dalam salah satu ceramahnya pernah memberikan penjelasan tentang tafsir “Wajah Allah” menurut Allamah Thoba-thobai dengan penjelasan sederhana yang bagi saya cukup mudah dimengerti. Dalam salah satu ceramahnya, Kang Jalal menceritakan tentang salah seorang temannya, orang asing yang tampak begitu terkaget-kaget melihat para pengamen , gelandangan dan anak-anak jalanan setibanya dari bandara . “Kontan Kang Jalal berkomentar singkat ,” Inilah wajah Indonesia tuan !” .Tamu asing tersebut mengangguk-angguk tanda mengerti.
Pengamen, anak jalanan dan gelandangan adalah “Wajah Indonesia”. Saudara bisa dengan mudah memahami istilah ini, bahwa “wajah Indonedia “ bukan artinya bahwa Indonesia memiliki bagian-bagian tubuh termasuk wajah. Akan tetapi “ wajah Indonesia” di sini artinya bahwa dengan melihat mereka (anak-anak jalanan tersebut) kita dapat menyaksikan gambaran utuh yang didalamnya tergambar keadaan ekonomi bangsa Indonesia yang timpang.
Dalam bahasa Arab kata wajah juga menjadi lambang kehormatan seperti dalam istilah Arab; araq ma’ wajhih yang secara harfiah berarti “menumpahkan air ke wajahnya”, yakni menjual harga dirinya. Dalam konteks al-Qur’an pun disebutkan term wajah, orientasi dan arah mempunyai akar kata yang sama, yakni (w-j-h); wajh (wajah), wijhah (arah), ittijah, jihah (orientasi, arah). Seperti; “mengarahkan wajah”, maksudnya adalah “menempuh” atau “mengikuti” sebuah arah, atau “menundukkan wajahnya kepada Allah” artinya mengikuti ajaran-ajaranNya dengan sepenuh hati, dan melangkah pada arah yang diperintahkanNya. Kata wajh (wajah) atau wajih dalam bahasa Arab juga mengandung arti kepala atau pemimpin suatu komunitas. Ketika para malaikat memberitahu Maryam bahwa Allah memberinya kabar gembira bahwa ia akan mempunyai seorang anak laki-laki; Isa, mereka mengatakan anak itu akan menjadi wajih – yang mnempunya wajah , maksudnya seorang yang terkemuka di dunia dan di akhirat kelak; salah satu dari orang-orang yang didekatkan pada Allah (QS Alu Imran : 45)
Maka “wajah Allah “ merupakan sesuatu yang bukan Dzat Allah ,
yang merupakan wujud keagungan Ilmu Ilahi, yang merupakan cermin penggambaran
kesempurnaan Keagungan Ilmu Ilahi. Dengan melihat cermin yang kita menyebutnya
“Wajah Allah” ini, kita akan menyaksikan keMaha Sempurnaan dan ke Maha Agungan
Pencipta.
Alam Semesta yang teratur, luas dan indah dalam penafsian sufistiknya Ibnu Arabi merupakan “wajah Allah” , kemanapun kita mengahdap , kita dilingkupi oleh alam semesta yang teratur , dan luas seolah tanpa arah , Qur`an mengistilahkannya dengan “wajah Allah” .Al-Qur’an yang membahas masalah wajah Tuhan dalam konteks ini adalah surat al-Baqarah ayat 115 yang bermakna; Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap, disitulah Wajah Allah. Alam semesta yang begitu luas tak terhingga meru`pakan` “ wajah Ilahi” yang dengan menyaksikannya kita dapat melihat ketidak terbatasan Ilmu Ilahi dimana seluruh akal tunduk takjub.`
Maka bila arah yang merupakan ciptaan Allah diis`tilahkan dengan “wajah Allah” , bagitupun halnya dengan PARA NABI, IMAM. DAN PARA WALI, YANG MERUPAKAN SEBAIK-BAIK MAKHLUQ, CIPTAAN TUHAN YANG TERBAIK.MEREKA ADALAH “WAJAH ALLAH” yang dengan menyaksikan mereka kita akan tunduk takjub pada keagungan Ilahi. Yang dengan menyaksikan mereka kita akan teringat dengan Allah dan jalan tauhid. Rasululah Muhammad merupakan “wajah Allah” yang dengan menyaksikan keperibadian beliau saw nya saw kita akan melihat pancaran sifat-sifat kelembutan Ilahi sebagaimana yang digambarkan Alqur`an :, “Laqad jaa-akum rasulun min anfusikum, ‘azizun alihi maa ‘anittum, harisun ‘alaikum bil mu’minina raufur rahim” (Telah datang seorang rasul kepadamu dari golonganmu sendiri. Terasa amat berat apa yang kamu derita, ia sangat menginginkan kebaikan bagimu. Terhadap mu’min ia santun lagi kasih sayang). Q:s 9:128.Dalam ayat ini , Qur`an menyebutkan kepribadian rasulullah itu Rouf dan rahim. Bukankah Rauf dan rahim ini adalah asma-asma Ilahi ?
Itulah sebabnya kami mayakini bahwa Rasulullah merupakan salah satu “Wajah Ilahi”, yang melalui beliau terpancar Sifat Rauf dan RahimNya Ilahi . Demikian pula Imam Ali, para Nabi, dan Para waliyullah. Melalui keagungan sifat-sifat mereka kita dapat menyakisikan pancaran sifat-sifat lembut dan agung Ilahi. SYIAH TIDAK PERNAH MENYATAKAN WAJAH ALLAH ITU HANYALAH ALI. PERNYATAAN BAHWA ORANG SYIAH MEYAKINI WAJAH ALLAH ITU ADALAH ( DAN HANYALAH) ALI, ADALAH KEBOHONGAN YANG DISEBARKAN MUSUH-MUSUH AHLULBAIT, TETAPI KAMI MEYAKINI BAHWA SELURUH MANUSIA-MANUSIA AGUNG SEPANJANG SEJARAH YANG ALLAH PUJI, YAITU PARA NABI DAN RASUL, PARA IMAM DAN PARA WALI, MEREKALAH WAJAH ILAHI. YANG MELALUI MEREKALAH KITA DAPAT MENGNGAT KEBESARAN DAN KEAGUNGAN ILAHI.
ULAMA SYIAH MENGAMBIL HIKMAH DAN SUNNAH MELALUI ALI
Kami mengambil ilmu hikmah Rasulullah dan sunnah beliau saww melalui Ali dan para Imam ahlulbait. Karena kami meyakini bahwa sunnah Ali adalah sunnahnya Rasulullah, begitupun sebaliknya. ARtinya seluruh yang difahami Ali adalah beliau dapatkan dari Rasulullah. Satu-satunya sahabat dan keluarga beliau yang mampu menyerap seluruh pancaran ilmu Nubuwah dari Rasulullah hanyalah Ali, itulah yang kami yakini.
Kaum ahlusunnah mengambil sunnah Nabi dari para sahabat. Mereka meyakini bahwa apa yang didapat sahabat dari Rasulullah seluruhnya terserap oleh sahabat dan ilmu tersebut dipancarkan kembali oleh para sahabat melalui hadist-hadsit yang mereka riwayatkan. Kita sebut saja mereka ini adalah ISLAM MADRASAH SAHABAT. Sementara kami mengambil sunnah dari Ali. Kami meyakini satu-satunya sahabat dan keluarga beliau yang mampu menyerap seluruh pancaran ilmu Nubuwah dari Rasulullah saw hanyalah Ali, kemudian setelah itu Hasan, Hussein dan seterusnya hingga Imam yang ke 12 atas mereka kesejahteraan. INILAH ISLAM MADRASAH KELUARGA DAN ANAK TURUNAN NABI, MADRASAH AHLULBAIT.
Jâbir bin Abdillah berkata: “Pada peristiwa Hudaibiyah, aku mende-ngar Rasulullah saw. bersabda sambil memegang tangan Ali as.: “Orang ini adalah pemimpin orang-orang saleh, pembasmi orang-orang zalim, akan ditolong siapa yang membelanya, dan akan terhina siapa yang menghinanya.’ Lalunya mengeraskan suaranya: “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya. Barang siapa yang ingin memasuki rumah, hendaklah ia masuk melalui pintunya.’” Târîkh Bagdad, Jil. 2/ 377.
Ibn Abbâs berkata: “Rasulullah saw. bersabda: “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Barang siapa yang ingin memasuki kota, maka hendaklah ia mendatangi pintunya.” Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 6/ 401.
Rasulullah saw. bersabda: “Ali adalah pintu ilmuku dan penjelas risalahku kepada umatku sepeninggalku nanti. Mencintainya adalah iman, memurkainya adalah kemunafikan, dan memandangnya adalah kasih sayang.” Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 6/ 156; As-Shawâ‘iq Al-Muhriqah, hal. 73.
Itulah alasannya mengapa kami
berpegang kepada Ali sesudah Rasulullah.Disamping itu, hadist-hadist lain
memberitakan pada kita bahwa dalam segenap perselisihan yang terjadi di
kalangan ummat, Ali adalah penjelas dari apa yang mereka perselisihkan.
Rasul;ullah bersabda <” Kamu adalah penjelas terhadap ummatku apa-apa yang
mereka perselisihkan sesudah aku .”
silakan rujuk Mustadrak Alhakim jilid 3 hal 122 / Muntakhab Kanzul Ummal
Musnad Ahmad jilid 5 hal 133 .
Selanjutnya Rasulullah
bersabda mengenai kepemimpinan Ali sesudah beliau ,” Siapa yang ingin hidup
seperti hidupku dan wafat seperti wafatku serta masuk surge yang telah
dijanjikan kepadaku oleh Tuhanku yaitu Jannatul Khuld. MAKA HENDAKLAH IA
BERWILAYAH KEPADA ALI DAN KETURUNAN SESUDAHNYA , KARENA SESUNGGUHNYA MEREKA
TIDAK AKAN MENGELUARKANMU DARI PETUNJUK DAN TIDAK AKAN MEMASUKANMU KE DALAM
PINTU KESESATAN.” Silakan rujuk Sahih Bukhari jilid 5 hal 65 cetakan Darul
Fikri , atau Bukhari jilid 5 hal 159 cetakan Matabi` Asysya`b. Dalam Sahih
Muslim, hadist senada bisa dilihat di jilid 2 , halaman 51, cetakan Alhalabi ; jilid 5 hal 119
cetakan Syirkah Al `ilanat.
Ilmu Imam Ali as Dalam Bidang Matematikahttp://www.balaghah.net/nahj-htm/id/id/makalah/9006/026.htm
Upah Penggali SumurDia sepakat dengan seorang penyewanya akan menggali sumur sedalam 10 kali tinggi badan, dengan upah 10 dirham. Si penggali sumur tiba-tiba berhenti, setelah menggali sedalam 1 tinggi badan. Mereka kemudia menemui Amirul Mukminin as untuk bertanya, berapa upah si penggali sumur ini? Imam Ali as menjawab, “Bagilah 10 dirham menjadi 55 bagian, satu bagian darinya berikan kepada penggali sumur.”
Salah satu masalah matematika, karena usaha menggali tanah dengan kedalaman 2 meter sama dengan dua kali lipat menggali tanah dari kedalaman 1 meter, dan seterusnya sampai kedalaman 10 meter.
Untuk menghitung upah dalam tiap tinggi badan, perhitungan kita untuk sumur adalah: 1+2+3+4+5+6+7+8+9+10=55.
Dengan argumen inilah, Imam Ali as mengatakan, “Bagilah 10 dirham menjadi 55 bagian.” Misalnya, jika upah menggali sumur sedalam 10 meter itu adalah 5500 rupiah, maka upah setiap meternya adalah:
5500/55= 100 rupiah upah menggali 1 meter pertama.
100 x 2 = 200 rupiah upah menggali meter kedua.
100 x 3 = 300 rupiah upah menggali meter ketiga.
100 x 4 = 400 rupiah upah menggali meter keempat.
100 x 5 = 500 rupiah upah menggali meter kelima.
100 x 6 = 600 rupiah upah menggali meter keenam.
100 x 7 = 700 rupiah upah menggali meter ketujuh.
100 x 8 = 800 rupiah upah menggali meter kedelapan.
100 x 9 = 900 rupiah upah menggali meter kesembilan.
100 x 10 = 1000 rupiah upah menggali meter kesepuluh.
Oleh karena itu, ketika masalah tersebut dinyatakan kepada Imam Shadiq as, beliau menjawab, “Bagilah 10 dirham menjadi 55 bagian dan seperlima puluhnya diberikan kepada si penggali sumur.”[1]
Penyelesaian Perselisihan
Dua orang dalam perjalanan duduk di depan meja makan, yang satu mengeluarkan 5 potong roti, dan yang lain mengeluarkan 3 potong roti. Keduanya meletakkan roti di atas satu meja. Ketika hendak makan, datang orang Arab dan duduk bersam mereka. Salah satu kebiasaan orang Arab jika lapar dan ada makanan di atas meja makan, mereka akan duduk untuk makan. Maka tiga orang tersebut makan bersama 8 potong roti di atas satu meja. Si tamu (orang Arab) menaruh delapan dirham di atas meja lalu pergi. Kemudian dua orang itu berselisih dalam membagi 8 dirham, pasalnya pemilik 5 potong roti ingin mengambil 5 dirham dan sisanya 3 dirham diberikan pada pemilik 3 potong roti tetapi tidak setuju. Akhirnya, mereka terpaksa mendatangi Imam Ali as.
Imam Ali as berkata, “Damai saja kalian!” Tetapi mereka tidak mau berdamai. Mereka meminta penjelasan yang benar dari Imam Ali as. Beliau berkata, “Tujuh dirham untuk di pemilik 5 potong roti dan 1 dirham untukmu (si pemilik 3 potong roti).” Si pemilik 5 potong roti merasa heran dan ingin penjelasan yang lebih terang dari Imam Ali as. Beliau as berkata, “Kalian (3 orang) masing-masing telah makan 2 2/3 dari semua roti di atas meja; 2 2/3 x 3= 8/3 x 3/1= 24/3= 8 (roti). Kamu yang punya 3 potong roti telah makan dari 2 2/3 roti tersebut dan si tamu (orang Arab) cuma makan 1/3 dari rotimu dan 2 1/3 dari 5 potong roti milik kawanmu, dan 2 1/3 (yang telah dimakan si tamu) sama dengan tujuh kalinya 1/3. jadi dari 8 dirham ini, 7 dirham milik kawanmu dan 1 dirham sisanya adalah milikmu.”[2]
Masa Tidurnya Ashabul Kahfi
“Dan mereka tinggal dalam gua mereka selama tiga ratus dan ditambah sembilan tahun (lagi).”[3]
Banyak sekali keajaiban yang ada dalam al-Qur’an, salah satunya adalah kisah Ashabul Kahfi:
1- Arti kata “yaum” dalam bahasa Aran adalah hari, dan disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 365 kali.
2- Arti kata “syahr” adalah bulan, disebutkan 12 kali.
3- Kata “Imam” dalam bentuk tunggal dan jamak disebutkan 12 kali.
4- Kata “rajul” yang artinya adalah laki-laki, disebut sampai 24 kali.
5- Kata “imra’ah” yang artinya adalah wanita, juga disebut sampai 24 kali.
6- Kata “dunya” dan “akhirah” masing-masing sebanyak 115 kali.
7- Tentang berapa lama waktu tidurnya Ashabul Kahfi, ayat di atas menyebutkan 300 tahun dan juga 309 tahun.
Pernah seorang alim Bani Israel bertanya kepada Imam Ali as, “Disebutkan dalam kitab kami Taurat, bahwa lamanya tidur Ashabul Kahfi 300 tahun. Kisah ini terdapat dalam kitab Taurat tidak berarti Ashbul Kahfi hidup sebelum zaman Nabi Musa as, karena ulama Yahudi menambahkan peristiwa-peristiwa di zaman Musa as menurut apa yang tertinggal dalam Taurat yang asli, kemudian kitab ini secara bertahap menjadi sempurna sebagaimana bentuk yang ada sekarang ini. Sedangkan kitab Anda al-Qur’an menyebutkan 309!” islamshia-w.com
Imam Ali dan Matematika
posted by:
noenknoenk
Imam Ali bin Abi Thalib, diberkahi Allah dengan kemampuan matematika yang
luar biasa. Berikut ini adalah beberapa cerita menarik, tentang kecemerlangan
ilmu Imam Ali Bilangan Bulat dan bilangan Pecahan
Suatu Hari, seorang Yahudi datang kepada Imam Ali (as.), untuk menguji kecerdasan Imam Ali (as.), “aku akan bertanya kepadanya, sebuah pertanyaan yang sulit untuk ia jawab, aku yakin, dia tidak akan mampu menjawabnya dan aku akan memiliki kesempatan untuk mempermalukannya di depan semua orang Arab”.
orang yahudi itu bertanya, “Imam Ali, katakan kepadaku tentang sebuah angka, yang ketika kita, membagi angka tersebut, dengan angka 1 sampai 10, jawabannya yaitu selalu bilangan bulat, dan bukan bilangan pecahan?”
Imam Ali (as.) menjawab, “hitunglah jumlah hari dalam setahun, dan kalikan dengan jumlah hari dalam seminggu, dan Anda akan memiliki jawaban Anda.”
lalu Orang Yahudi itu, menghitung jawaban Imam Ali (as), yang diberikan kepadanya.
Kemudian, ia menemukan hasilnya sebagai berikut:
- Jumlah Hari dalam 1 Tahun = 360 (kalender Arab)
- Jumlah Hari dalam 1 Minggu = 7
- hasil perkalian dari dua angka diatas = 360×7 = 2520
Sekarang buktikan …
2520 ÷ 1 = 2520
2520 ÷ 2 = 1260
2520 ÷ 3 = 840
2520 ÷ 4 = 630
2520 ÷ 5 = 504
2520 ÷ 6 = 420
2520 ÷ 7 = 360
2520 ÷ 8 = 315
2520 ÷ 9 = 280
2520 ÷ 10 = 252
kisah tentang Lima Roti
Zar Bin Hobeish, menceritakan kisah ini: Dua pengembara duduk bersama dan mereka makan roti. pengembara pertama, mempunyai 5 roti; pengembara kedua, mempunyai 3 roti. lalu datanglah Pengembara ketiga, melintas di depan mereka, dan atas permintaan dari pengembara pertama dan pengembara kedua, pengembara ketiga ini diajak untuk bergabung dan menikmati roti mereka. lalu Para pengembara memotong masing-masing roti yang jumlahnya 8, menjadi tiga bagian yang sama. Masing-masing dari pengembara tersebut, makan delapan potongan roti.
Pada saat pengembara ketiga meninggalkan keduanya, ia mengeluarkan uang sebesar 8 dirham, dan diberikan kepada kedua pengembara tersebut, yang telah menawarkan makanan kepadanya. Setelah menerima uang, kedua pengembara itu, mulai berselisih tentang pembagian uang tersebut. Pengembara pertama dengan 5 roti, meminta bagian, berupa uang lima dirham. Pengembara kedua dengan tiga roti, bersikeras membagi uang, menjadi dua bagian yang sama (masing-masing 4 dirham ).
Perselisihan ini akhirnya dibawa kepada Imam Ali (as.).
Imam Ali (as.) meminta pengembara kedua, yang punya 3 roti, untuk menerima uang tiga dirham, karena pengembara pertama, yang punya lima roti, telah lebih adil kepada anda. Pengembara kedua, menolak dan mengatakan bahwa, ia akan bersikeras untuk mendapatkan uang empat dirham.
lalu Imam Ali (as.) menjawab, “Anda hanya berhak memiliki satu dirham. Anda berdua memiliki 8 roti (5+3). Setiap roti dipotong, menjadi tiga bagian yang sama. Oleh karena itu, Anda memiliki 24 bagian yang sama, 8×3 = 24. Tiga roti anda(pengembara yang kedua) menjadi 9 bagian, kemudian dari 9 bagian roti tersebut, telah Anda makan 8 porsi, dan anda hanya memberikan 1 porsi, untuk pengembara ketiga. (3×3)=9; 9-8 = 1.
pengembara pertama, yang memiliki 5 roti, kemudian dipotong menjadi 3 bagian yang sama, jadi 15 porsi. Ia makan 8 porsi, dan sisanya, yaitu 7 porsi, diberikan kepada pengembara ketiga.(5×3)=15; 15-8 = 7.
Jadi, pengembara kedua, harus mendapatkan satu dirham, dan pengembara pertama, harus menerima tujuh dirham.“
Pembagian harta Warisan
sebelum meninggal, ada seseorang menulis surat wasiat sebagai berikut:
"Saya memiliki 17 unta, dan saya punya 3 anak laki-laki. Bagilah unta saya tersebut kepada anak-anakku, sehingga anak sulung saya, mendapat setengah dari seluruh unta saya (17), anakku yang kedua, mendapatkan 1/3 dari seluruh unta saya (17) dan putra bungsu saya, mendapatkan 1/9 dari seluruh Unta saya (17)."
Setelah orang tersebut meninggal, anak-anaknya kemudian membaca surat wasiat tersebut, dan mereka sangat bingung, dan berkata, "bagaimana kita bisa membagi 17 unta ini.?"
kemudian mereka datang kepada Imam Ali (AS), dan meminta pendapat imam ali (as).
Imam Ali (AS) berkata, "baiklah, aku akan membagi 17 unta tersebut, sesuai dengan surat wasiat yang disebutkan."
kemudian Imam Ali (AS) berkata, "Aku akan meminjamkan satu untaku, sehingga totalnya menjadi 18 (17 +1 = 18), dan memungkinkan untuk membagi unta tersebut, sesuai surat wasiat."
Anak sulung, mendapat 1/2, dari 18 unta = 9
anak Kedua, mendapat 1/3, dari 18 unta = 6
anak Bungsu, mendapat 1/9, dari 18 unta = 2
jumlah unta = 17 (9 + 6 + 2 = 17)
Kemudian Imam Ali (AS) berkata, "Sekarang, aku akan mengambil untaku kembali."
http://nayrachedq.blogspot.com/2010/11/imam-ali-dan-matematika.html